5s [katananjiwa]

Menilik dan Menghormati Sejarah (Holistik) I

Rasanya tidak salah kalau bangsa Arab mengabadikan 'Nuniatu Al Randi ', sebuah syair yang ditulis oleh penyair kenamaan di tanah Andalus ratusan tahun yang silam. Sebagai syair perjuangan, dan juga upaya untuk menghargai nilai sejarah. Yang mungkin selalu saja kita remehkan, sehingga kita tidak masuk lobang gelap yang sama untuk kedua kalinya. Arrandi dengan gelombang semangat yang menderu, menyeru raja Arab Islam di Sepanyol agar tetap teguh menyusun barisan dalam menghadapi rongrongan rongrongan raja Spanyol. Seruan itu ditandai dengan 'menilik sejarah', mengapa kita kalah? Karena menurut Arrandi hal tersebut disebabkan oleh lunturnya semangat juang raja Arab, disertai penyerahan benteng-benteng penting kepada raja Spanyol. Disaat kelemahan-kelemahan tiba, maka dengan mudah dihancurkan musuh.

Banyak korban berjatuhan, dan juga terusir dari tempat tinggal mereka, sehingga Arrandi dalam ungkapan sastranya mengatakan, bahwa karena begitu dahsyatnya kesedihan, sampai sampai mimbar menangis, menyaksikan kejadian yang berlalu didepan mata. Masjid-masjid kosong, tidak terdengar lagi suara adzan, juga tidak ada orang bersolat, semuanya lindap dan diam, termenung bisu, menahan isak tangis dan hati yang berkelu..

'Menghormati dan menilik sejarah' merupakan suatu hal yang tidak niscaya pentingnya bagi kita, karena dengan sejarah kita tidak akan terlalu gegabah dalam melangkah, dan mengambil keputusan. Kenapa Kaum Tsamud hancur? Kenapa kerajaan Persi harus punah? Kenapa bangsa Romawi harus tunduk di bawah kekuasan bangsa Turki? Kenapa orang orang Islam mengalami kemunduran dalam beberapa penggal kurun? Memang Semuanya akan hancur dan akan mengalami masa-masa kehancuran, namun setidaknya kita dapat mempelajari berbagai macam pengalaman, bukan untuk sekadar beromantisme, tapi untuk ingat dan belajar pada sejarah.
Read more »

PUISI - PUISI (Lukisan Sunyi) I

ANITA UMAR

SESALKU
Kujelang diri-Mu tergesa
Ketika waktu yang engkau berikan
Hampir berakhir
Kugelar ritual aneh yang
Kau wajibkan padaku

Kumulai iftitahku terpatah
Aku sujud dengan wajah menekuk
I’tidalku kaku

Lalu kusembahkan sujudku pada-Mu
Dan tanpa aku sadari
Hatiku tak hadir pada sa’at itu!

Kujelang diri-Mu tergesa
Ketika detik-detik
Terakhirku hampir tiba
Mengharap engkau menganggap
Segala yang pernah ada
Menjadi tiada
Tetapi Engkau Maha Tahu!

Dan ketika detik itu tiba
Kembali kujelang diri-Mu tergesa
Tanpa bekal
Tanpa hasil yang berarti
. Cairo, 0402’04

SEKEDAR RENUNGAN
Dunia memang kehidupan yang fana
Segalanya datang dan pergi
Hilang dan berganti
Bertemu dan berpisah adalah mutlak
Dunia adalah permainan
Yang tak bisa diatur sendiri
Dunia adalah jalan berliku
Curam dan penuh rintangan
Rintangan yang nyata adalah dosa kita sendiri
Tapi yang Maha Kuasa tak pernah ambil perduli
Sebesar apapun silap dan salah itu
Dia selalu saja menghapusnya denngan rahmat-Nya
Yang maha akbar
Ketahuilah diriku!
Masih ada dunia lain menanti
Abadi, kekal, tak berujung
Kematian bukanlah akhir
Karena masih ada kehidupan lain menanti

LETIH
Ada ruang hampa di satu sisi jiwaku
Kosong...
Tak bermakna

Ada jenuh memuncak
Menghempas ragaku
Getir!

Lidahku mengecap pahitnya hidup
Perjuangan belum usai
Laut jiwaku bergolak
Mencoba luapkan resah
Aku letih!
Jiwa dan ragaku


Elegi Kinanah (Senandung Musim) I

Matahari mulai bersinar menampakan wajah dari kelamnya malam yang pekat, burung- burung mulai beryanyi riang menyambut hadirnya sang surya. Di sebuah surau tampak seorang pemuda duduk bersila setelah mentadaburi ayat Al Quran yang ada di hadapannya. Pagi itu raut mukanya penuh dengan segudang tanda tanya yang setiap hari selalu memenuhi benaknya. ”Ya Allah … tinggal beberapa bulan lagi aku ujian semester ahkir madrasah Aliah, dan aku ingin sekali melanjutkan pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi. Namun…apakah mungkin dengan keadaanku, keluargaku yang serba pas-pasan. Ayahku sudah tua, ibu sering sakit-sakitan dan keluargaku dapat hidup hanya dari sepetak sawah yang ada di belakang gubukku. tapi…aku tidak boleh putus asa karena semua mahluk yang ada di dunia ini sudah ada yang mengaturnya termasuk aku”. Terlihat jelas dari raut mukanya pemuda yang berumur kira-kira delapan belas tahun itu sedang berfikir untuk masa depannya. Sesekali terlihat kesedihan dari raut mukannya dan sesaat kemudian ia tersenyum bangga seakan apa yang selama ini ia impikan telah tercapai.
“Ceng… Aceng… sudah siang...., bukankah hari ini kau ada ulangan. Cepat mandi sana, nanti terlambat !”
Terdengar sayup-sayup suara seorang ibu setengah baya memanggil anaknya yang sejak sholat subuh tadi masih berada di surau.
“I..ia bu” terlihat Aceng terperanjat dari lamunannya. Lalu beberapa saat kemudian ia pun sudah terlihat keluar dari pintu surau. Dan berjalan menyusuri batu-batu yang tertata rapi penghubung surau dengan rumahnya.

“Ceng… nanti kalau kau berangkat sekolah tolong bawa rantang ini kesawah untuk sarapan bapak dan pamanmu” kembali terdengar suara Bu Salimah, Ibu Aceng yang terlihat sibuk di dapur.
“Ia Bu“ jawab Aceng singkat sambil berlalu kekamar untuk berpakaian.
“Ceng, sarapan dulu!”
“ Sebentar bu.. “ jawab Aceng yang terlihat berjalan menghampiri meja makan sederhana yang terletak di dapur rumahnya.
“Makan dengan apa bu?“ tanya Aceng
“Oalah jang, jang… ya dengan apa lagi selain dengan tempe, tahu, ikan asin , daun sampe sama sambel terasi. kita inikan orang miskin mana bisa makan makanan mewah seperti para pejabat itu” jawab sang ibu yang sibuk melayani anak semata wayangnya itu.
“Tapi enak kok bu… Aceng rasa ini sudah cukup apa lagi ibu yang memasaknya “ kata Aceng memuji.
Kemudian Aceng pun mulai terlihat menikmati makanan yang di sodorkan ibunya hingga selesai.
“Bu..., Aceng berangkat dulu, do’akan Aceng ya Bu “ ucap Aceng sembari beranjak dari tempat duduknya lalu kemudian mencium tangan ibunya ta’dzim.
“Enya jang..., ku ibu di do’aken, hati-hati di jalan, jangan lupa makanan untuk ayahmu di bawa“ sahut sang ibu.
Kemudian Aceng pun pergi meninggalkan ibu yang memandaginya dari tepi pintu.

&&&
Sebenarnya keluara Aceng tidak bisa di katakan miskin, keluarganya berada pada tingkat menengah di desa itu. Bahkan sawah merekapun di garapkan pada tiga tetangganya, namun keluarganya selalu menerapkan gaya hidup sederhana tidak seperti kebanyakan keluarga yang lain. Ayahnya yang sudah terlihat ringkih tetapi tetap saja sering terlihat pergi bekerja ke sawah walau hanya untuk sekedar melihat-lihat sawahnya dan orang-orang yang bekerja padanya.

&&&

Mentari mulai merayap dari balik bukit, para petani terlihat berlalu lalang membawa cangkul dan menuntun kerbau-kerbau mereka ke sawah. Terlihat di sebuah petakan sawah seorang lelaki setengah baya sedang mengayun cangkulnya di tengah tiga orang yang terlihat lebih muda darinya. Tubuh yang mulai ringkih namun tetap terlihat bertenaga mengayun cangkulnya tampa jemu.
“Pak..., Mang... sarapan dulu“ teriak Aceng dari sebuah saung yang tidak terlalu jauh dari tempat ayahnya bekerja
“Enya .., jang sakedap... “ Ucap lelaki setengah baya itu yang tak lain adalah ayah Aceng sembari berlalu kesebuah parit kecil dimana air yang sangat jernih mengalir, untuk mencuci tangannya yang di penuhi lumpur.
“Makan dulu pak, ibu masak tempe kesukaan bapak” kembali suara Aceng terdengar sambil terlihat menyiapkan makanan untuk sang ayah.
“Ya sudah, kamu pergi saja ke sekolah nanti terlambat” sahut pak Rahmat ayah Aceng.
“Iya, Ceng biar kamu jadi Direktur, agar nggak kaya pamanmu ini” timpal mang Suarno tetangga rumahnya sembari mengikuti pak Rahmat ketepian sawah diikuti kedua temannya.
“Kalau begitu Aceng pamit dulu Pak!“ kata Aceng sambil menyalami sang ayah dan berlalu meninggalkan mereka di tengah sawah yang terbentang di lereng Karenceng.

Aliran air jenih memenuhi parit kecil yang meliuk-liuk seirama dengan jalan setapak yang ada di sebelahnyanya. Kembali Aceng melangkahkan kakinya menuju sekolah yang berjarak dua kilo meter dari rumahnya.
“Ceng... Tunggu Ceng!“ teriak seseorang dari kejauhan yang terlihat mendekati Aceng.
“Ooh , kamu An. Gimana persiapan ujiannya?” tanya Aceng
“Beres Ceng, semalam aku belajar Full sampai nggak tidur “ jawab Andi.
“Eh... Ceng, kemarin aku dapet surat dari pamanku di Bandung katanya Bulan Mei nanti ada tes ke Al-Azhar beasiswa dari Depag, Ceng. Kamu ikut test ya?! aku yakin kamu bakalan lulus. Lagian kalau nggak lulus pamanku bisa bantu kok“ kata Andi panjang lebar.
“Aduh... nggak tahu An, mana bisa orang seperti aku Pergi ke sana, keluargaku nggak mungkin sanggup membiayaiku di sana.” jawab Aceng
“Ceng... Pokoknya kamu ikut test dulu dech, kata pamanku kalau nanti lulus test di sana kita udah nggak mikir lagi masalah biaya, untuk berangkat ke sana semuanya di biayari pemerintah, terus udah nyampe disana kita langsung mendapat beasiswa dari Al-azhar“ kembali Andi menerangkan.
“Udah lah An nggak usah kita pikirkan dulu masalah itu, lagian sekolah kita juga belum selesai kan?! Mendingan kita buruan ke sekolah nanti terlambat“ kata Aceng sambil terlihat mempercepat langkahnya.
“Aduh sorry ya Ceng, sepedaku nggak ada boncengannya. aku duluan yah?!” terlihat Andi mengayuh sepedanya dengan segera.
“Nggak apa-apa, hati-hati An!” sahut Aceng.

&&&

Teng...teng...teng...!
Lonceng berbunyi tanda istirahat tiba, para siswa-siswi Aliah Nurul Ulum terlihat berbondong-bondong keluar dari ruang kelas mereka. Mencari tempat yang sejuk di bawah pepohonan yang tumbuh di sekeliling sekolah. Sebagian mereka pergi ke sebuah kantin yang bersebrangan dengan sekolah mereka, sebagian yang lain duduk-duduk sambil ngobrol di bawah pohon beringin yang sangat rindang untuk melepas lelah setelah dua jam lebih bertempur dengan pelajaran.
Di sebuah bangku yang terpisah dari bangku-bangku yang lain, tampak Aceng sedang melamun “Al-Azhar... Universitas tertua di dunia. Sungguh... aku sangat bahagia seandainya aku dapat melanjutkan cicta-citaku di sana. Tapi...apakah mungkin aku dapat pergi ke sana dengan keadaan keluarga yang sangat pas-pasan? Aku di sana mau hidup dengan apa, orang tuaku tidak akan mungkin mampu membiayaiku walaupun hanya untuk sekedar makan”.
Plak...! “Hei... Ceng kamu lagi mikirin apa? serius amat“ sapa Andi yang sengaja mengejutkannya
“Astagfirulloh, kamu An ngejutin orang aja, untung aku nggak punya penyakit jantung“ kata Aceng yang terlihat kaget sambil mengelus dada.
“Gimana Ceng, udah kamu pikirkan? sudahlah Ceng yang penting sekarang kamu yakin, pasti kamu bisa kesana. Masalah di sana nanti gampang, pamanku bilang di sana mudah cari kerjaan dan di sana tidak sedikit mahasiswa yang kuliah sambil bekerja, jadi kalau masalahnya cuma takut nggak bisa makan, bukan suatu alasan, yang penting kita nyampe dulu di sana“ kembali Andi berkoar bak seorang presentator yang sedang menerangkan hasil karyanya.
“Iya deh An, ingsyaAllah kalau nanti lulus aku akan coba ikut test“ jawab andi memberikan keputusan yang setidaknya membuat puas hati sahabatnya.

Teng..teng... ! kembali terdengar suara bel berbunyi
“Ayo An, masuk! sekarang pelajaran Fisika nanti Pak Budi marah-marah lagi!“ ajak Aceng
“Aduh ... Ceng, aku lagi males ikut pelajaran pak Budi, entar kalo nanyain aku, bilang aja aku pergi kerumah sakit menjenguk paman“ sahut Andi berbohong sembari berlari ke belakang sekolah.
“Dasar anak bandel, Fisika merah terus nggak kapok-kapok dia“ bisik hati Aceng sambil berlalu pergi memasuki ruang kelasnya.

&&&

Semilir angin pagi membelai dedaunan, menembus celah-celah dinding rumah yang terletak dilereng karenceng, burung berkicau riang bernyanyi seolah tak pernah ada penderitaan yang menimpa mereka. Terlihat Aceng membuka-buka buku yang ada di hadapannya. Pikirannya melayang jauh, ia selalu membayangkan keindahan belajar di Al-Azhar yang berada di negara Mesir, negeri para Nabi yang selalu jadi impiannya untuk mengapai cita-cita.
“Ceng makan dulu, nanti terlambat“ ajak sang ibu yang sudah bercucuran keringat memasak sejak subuh tadi.
“Iya Ceng, makan dulu nanti sekolahnya terlambat“ pak Rahmat ayah Aceng menimpali
“Iya Pak...” jawab Aceng sambil berlalu meninggalkan meja belajarnya.
“Ceng... tidak biasanya kamu makan sedikit, kamu sakit ya?“ Tanya sang ibu penasaran
“Ngg..nggak bu ! “ jawab Aceng singkat
“Ceng, kalau kamu ada masalah ngomong sama bapak dan ibumu jangan di pikirkan sendiri nanti malah sakit “ kembali suara bapaknya menimpali
“Aya naon jang, nyarita atuh ka emak sareng kabapak ari aya masalh teh” suara ibu Salimah khawatir
“Begini pak “ suara Aceng terputus sejenak
“Pak, Bu ... sebelumnya Aceng minta maaf kalo nantinya kata-kata Aceng membuat bapak dan ibu kurang senang” kembali suara Aceng terdengar lirih
“Pak, Bu... Kalo Boleh nanti bulan Mei Aceng mau ikut Test masuk Universitas Al-Azhar”
kata Aceng setengah ragu.
“Bagus..., kalau kamu punya cita-cita menuntut ilmu di sana “ jawab pak Paiman setuju
“Tapi jang... mesir itu kan jauh, nanti siapa yang akan mengurus kamu di sana?“ kembali kekhawatiran bu Salimah terdengar
“Bu..., Ibu nggak usah khawatir, Aceng kan udah besar insya Allah Aceng bisa menjaga diri kok “ jawab Aceng
“Ya sudah kalau itu memang keinginanmu bapak sama ibu hanya bisa berdo’a, yang penting sekarang kamu rajin-rajin belajar agar apa-apa yang kau cita-citakan tercapai“ ucap Pak rahmat tanda setuju.
Terlihat jelas kegembiraan di wajah Aceng karena apa yang menjadi keinginannya ternyata di setujui kedua orang tuanya, walaupun sebenarnya ia sendiri masih belum yakin dapat melanjutkan cita-citanya ke negeri para Nabi itu.

&&&

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan hingga akhirnya sampailah pada waktu pengumuman Kelulusan test Al-Azhar .Terlihat dua orang pemuda baru saja turun dari angkot yang membawa mereka dari Bandung. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak ditepian sawah yang berbelok-belok.
“ Ceng ! apa aku bilang dulu, kau pasti lulus test “ tiba-tiba suara Andi terdengar keras
“ Alhamdulillah An, ini berkat doa kamu juga “ kata Aceng merendah
“ Eh, Ceng kamu nggak usah terlalu merendah nanti malah di injak-injak orang lho “ timpal Andi berguarau
“ ah, kamu An ada-ada aja “ sahut Aceng kembali
Kedua sahabat karib itu bercanda di sepanjang jalan setapak, menyusuri hamparan sawah yang mulai menguning menambah keindah alam di desa itu

&&&

Terik mentari tiba-tiba meredup, langit yang tadinya cerah tiba-tiba tertutup awan yang kelam, suara petir terdengar menggelegar, rintik hujanpun mulai turun membasahi hamparan alam yang sangat indah sore itu.Di sebuah pendopo rumah yang sangat sederhana tampak Aceng sedang duduk termenung sembari menatap hamparan sawah di hadapanya.
“ jang..., kamu harus sabar , mungkin keberangkatannya di undur lagi “ terdengar suara bu salimah sambil mengelus pundak Aceng
“ iya bu, tapi sampai kapan , sekarang kan sudah akhir Agustus bu, janji mereka awal agustust saya sudah berangkat ke sana” jawab Aceng sedih.Terlihat di kejauhan seseorang menaiki sepeda memakai mantel hujan datang ke arah rumah mereka.
“ Asalamu’alaikum “ ucap orang tersebut yang tak lain adalah tukang post
“ Wa’alaikum salam “ Jawab Aceng dan ibunya serempak
“ maaf dek, Benar ini rumah Aceng maulana ? ‘ tanya tukang post
“benar Pak , saya sendiri “ jawab Aceng segera
“ Ini dek ada surat dari bandung, saya permisi dulu” kata tukang post pada Aceng sembari kembali menaiki sepedanya.
“ terima kasih pak “ balas Aceng dengan segera menerima surat yang di berikan tukang post itu dan membukanya.

Bandung, 25 agustust 2010
Untuk Sahabatku Aceng
Di Babakan

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Ceng, sebelumnya aku minta maaf,atas kelancanganku ini. Ceng, Sebenarnya surat panggilan keberangkatanmu sudah di kirim pada tanggal 3 agustus kemarin, tapi sengaja surat itu tidak aku sampaikan sama kamu. Ceng…, aku tidak lulus dalam test kemarin, dan ayah serta ibuku tidak dapat menerima kegagalanku itu, mereka ingin aku tetap pergi ke kairo walau bagai manapun caranya, Jadi atas desakan mereka pamanku mengubah namamu menjadi namaku. sebenarnya aku tidak mau menerima semua ini tapi aku juga tidak ingin mengecewakan orang tuaku untuk yang kesekian kalinya. Maafkan aku Ceng.....
Wasalam
Sobatmu, Andi Gunawan

Hujan semakin deras menumpah bagai air bah, halilintar menggelegar membuat sore itu semakin mencekam seakan ikut marah dengan apa yang di alami oleh Aceng. Tubuh Aceng tiba-tiba bergetar hebat setelah membaca surat yang di kirimkan sahabatnya itu, “An kau adalah sahabatku yang paling dekat, tapi mengapa sampai hati kau lakukan ini An...!!!” teriak batin Aceng sembari meremas surat yang berada di gengamannya dengan wajah yang geram.....


Bersambung..........
By. Oom Amin El Hasby

Belum Berjudul (Mata Pena 2) I

“Budi, Banguuun!”pinta ibu yang sudah berkepala enam itu pada anak semata wayangnya.
“Cepat beresi pakaian!” lanjutnya
“Ada apa sih, mak?” Tanya Budi heran.
“POL PP akan menggusur rumah kita nak!” jelas sang ibu dengan gugup.

Entah apa yang terpikir oleh ibu keturunan Sumatra itu, kala mentari melemparkan cahaya dan memperlihatkan tontonan yang sangat menyakitkan. Gubuk-gubuk mungil yang mereka pertahankan selama dua tahun terakhir sekejap rata di lindas buildozer.

“Sampai kapan lagi kalian menyiksa kami, pak?” desah ibu Nurmi yang sedang mengandung tujuh bulan, dengan air mata yang mengalir dikedua pipinya sambil menahan perih di perut dan jiwanya.

“Kan sudah kami peringati enam bulan terakhir, agar mengosongkan tempat ini. Tapi kalian tidak mengindahkan peringatan kami!” jelas ketua POL PP dengan kesombongan pangkat yang di bawanya.

“Lantas kami harus kemana, pak?” tanya Sutijah, gadis kecil yang seharusnya belum pantas mengetahui semua itu di sela isak tangisnya.

“Kalian sudah tahu, bagi anak-anak di sediakan panti asuhan dan bagi orang tua di sediakan panti jompo. Sesaat suasana hening, karena harus melawan dengan apa lagi, mereka hanya bisa pasrah dengan keputusan yang ada meskipun hati mereka tersayat.

***

Satu persatu warga di kawasan TPA itu menjauh dan menghilang seiring perginya petugas, hanya burung liar dan beberapa ekor anjing yang setia mengintarinya mencari potongan-potongan bangkai jiwa-jiwa yang tertindas.
”Ayo Bud, kito pegi!” ajak ibunya
“Kemano, mak?” Budi balik bertanya.
“Kemano bae kito nyingok, di situlah arah kito” jelas ibunya dengan memunafikkan rasa jiwa yang lagi tersayat.

***

”Mak, minum obatnya dulu baru tidur” perintah budi pada ibunya yang sudah satu minggu terakhir ini terbaring di gubuk mungil barunya karena Liver yang diderita ibunya kambuh lagi.

Setelah penggusuran itu satu-persatu musibah menimpa Budi. Laki-laki belia yang masih dua belas tahunan itu harus bekerja ekstra, dari mencari barang bekas, ngamen di pasar yang cukup melelahkan jika di tempuh dengan berjalan kaki, nyikat sepatu dan lain-lain hanya untuk sesuap nasi dan membeli beberapa butir obat untuk penyakit ibunya yang semakin hari semakin parah.

“Bud, kesini bentar nak. Emak nak ngomong!”pinta ibunya pada budi yang baru saja selesai shalat maghrib dengan sarung lusuh dan pakaian yang sudah beberapa kali di jahit, bertanda bahwa pakaian itu sudah fase keberapa lengket di tubuhnya yang mungil.

“Mau ngomong apa, bu?”jawab Budi seraya menghampiri ibunya yang terbaring di kasur mungil yang terletak di atas tumpukan kardus di sudut ruangan yang di susun rapi oleh Budi.

“Tadi kamu shalat ashar nggak?” Tanya ibu Budi
“Shalat, bu!” jawab Budi. “Cuma udah dekat maghrib” jelasnya lagi.
“Nak…” ucap ibu tua itu sambil menggenggam tangan Budi yang duduk di sisinya.
“Maafkan emak, yah!?. Bukannya emak membahagiakanmu, tapi emak malah menyusahkanmu dengan harus bekerja...”
“Mak, tolong jangan ngomong cak itu lagi. Aku malah senang dengan keadaanku cak ini, karena membuatku harus labih dewasa dalam menjalani hidup yang penuh dengan rintangan ini” potong Budi.

“Dulu, ketika Bakmu masih hidup, kami bercita-cita ingin menyekolahkanmu, tapi nggak lama setelah itu ayahmu meninggal di tembak polisi ketika berontak dari tuduhan pencurian di daerah prumnas!”cerita ibu itu dengan mengalirkan mutiara-mutiara rindunya pada kekasihnya.

“Mak, entar kalo emak sudah sembuh, aku akan ngumpul uang untuk sekolah. Entar emak akan liat aku memakai pakaian seragam, ntar aku bisa baca Koran, dan aku nanti nggak kalah bedanya dengan anak pejabat. Iya kan mak?. makanya mak rajin-rajin makan obat, biar emak bisa ngeliat aku mencapai cita-cita itu” hibur Budi pada ibunya sambil memeluk tubuh mungil yang terbaring layu itu.

***

Diam tercipta saat itu, keduanya terhanyut pada khayalan-khayalan kecil yang mengiring mereka pada kehidupan seperti itu, sedangkan air mata tidak lelah yang dari tadi mengalir di kedua pipi mereka, mereka bersatu pada jiwa namun berpisah alam pikiran.

***

Siang itu mendung menghiasi bumi, sunyi, sepi yang tersisa di saat segelintir pelayat dan warga kampung pulang dari pemakaman kerumah mereka masing-masing, hanya Budi yang tersisa di sana. Budi yang sedari tadi duduk diam di sisi kubur itu sambil memeluk batu nisan, pikiran dan jiwanya berbeda alam.

Di satu sisi budi sedih benar dengan ujian kali ini. “Entah apa lagi yang akan datang setelah takdir yang mengharuskan ibu pergi dari sisiku?!” ucapnya dalam hati. Namun di sisi lain Budi memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini. “Apa aku hanya diam di sini menjaga kubur ini hingga ajal menjemputku juga! Tidak, aku harus pergi dari sini, aku harus mewujudkan cita-cita emak dan bak, aku harus meninggalkan kenangan pahit yang selama ini menyiksaku”.

Perlahan Budi beranjak dari tempat itu, air mata terus menetes di pipinya namun air mata lebih deras lagi mengalir didadanya yang tak nampak. Terlintas di benaknya impian-impian ibu dan ayahnya, agar budi bisa duduk di bangku sekolah.

Dengan uang hasil pencariannya sehari-hari ditambah sumbangan warga kampung yang turut sedih dengan keadaannya yang lugu, dan beberapa helai baju yang entah kapan di beli ibunya dulu, serta ditambah tekad yang bulat, Budi kecil melangkahkan kakinya pagi itu menuju ibu kota, mencoba tuk melupakan kenangan-kenangan yang ia lewati di kota ini dari sindiran bahwa itu tidak cocok untuk mereka karena mengganggu pemandangan meskipun ada pula warga yang mau mengangkatnya sebagai anak, namun tekad Budi sudah sebulat matahari.

”Aku harus merantau” ungkapnya dalam hati sambil mengandeng tas kecil yang ia dapat ketika pulang dari ngamen menuju loket mobil yang tak asing lagi baginya, sebagai seorang pengamen jalanan.

“Jam berapa berangkatnya, bang?”Tanya budi pada sopir IMI jurusan palembang-jakarta itu.
“Sekitar jam sembilan malam nanti” jelas sopir itu.

***

Malam itu hujan deras menghiasi Jakarta. Budi yang sudah tiga hari nggak makan setelah kepergiannya seminggu yang lalu karena seluruh uang dan pakaian yang di bawanya dulu hilang tak tersisa di ambil pencuri, ketika budi tidur di trotoar pasar senin. Hanya sepan mambo, baju kaos dan sendal jepit yang hingga kini masih menemaninya.

Budi yang mengigil duduk di bawah atap toko emas yang terdapat di jalan panjaitan itu, bibirnya gemetar karna menahan sakit di perutnya. Sudah tak terhitung lagi untuk keberapa kalinya cacing yang ada di perut buncit itu menarik dan menggigiti usus-usus di sekitarnya, memaksa budi kecil untuk minta jatah.

Mata si perantau kecil yang dari tadi kosong kini tertuju pada Rumah Makan yang terdapat di ujung jalan yang masih terbuka, entah apa yang terpikir oleh budi tak kala pandangannya tertuju ke sana. Tubuh kurus tapi berotot itu langsung berjalan melewati atap demi atap menuju ke arah Rumah Makan dengan harapan yang menggebu, namun langkah si budi kecil terhenti didepan rumah makan tersebut.

“Aku harus bagimana?” pikirnya dalam hati.
“Apa aku harus mengemis hingga mereka kasihan. Tidak! aku bukan seorang pengemis” kilahnya.

Setelah beberapa detik berlalu budi yang dari tadi diam mulai beranjak menghampiri si pemilik Rumah Makan yang dari tadi diawasi oleh sepasang matanya.

“Assalamulaikum” sapa Budi membuka obrolan.
“Waalaikum salam” jawab pak Samsul, pemilik rumah makan itu.
“Ada yang bisa saya bantu, dek?” tanyanya dengan sopan.
“Om, sekarang aku lapar sekali, tolong beri aku makan. Nanti kalau aku sudah kenyang, terserah om mau perintah aku, apa aku harus nyuci piring, nyapu, atau ngepel. Tapi yang jelas, sekarang tolong beri aku makan!” mohon Budi pada pemilik rumah makan itu.
“Nak..nak! memang seluruh orang kayak kamu itu, seperti ini!”
“Om, jangan teruskan!” potong Budi, memang aku anak jalanan, tapi aku tidak seperti mereka yang om kira, aku menjadi anak jalanan ini karena terpaksa, om!”
“Oke! tapi kamu bisa jaga janji kan?!” tanyanya balik.
“Iya”jawab budi mantap.
“Uja..ng tolong kasih dia makan, setelah itu suruh dia nyapu dan ngepel tempat ini” perintah pak samsul pada pegawainya.
“baik, pak” jawab Ujang, pegawainya.

***

Hari demi hari di lewati si budi kecil sebagai pembantu di Rumah Makan, dari pagi hingga malam si kecil bekerja tanpa kenal lelah dan jika malam tiba budi menunggu pagi datang dengan bernyanyi nyanyian jiwa di teras Rumah Makan.

***

“Budi, kamu di panggil oleh Majikan!” perintah Ujang pada Budi yang lagi mencuci piring.
“Ada apa?” tanya budi balik.
“Mana aku tahu, tanya aja sendiri!” jelas Ujang sambil beranjak dari tempat itu.
“Ada apa Om?” tanya Budi yang menghampirinya di depan meja kasir di samping pintu keluar itu.
“Kamu lagi ngapain, Bud?” tanya pak Samsul.
“Lagi nyuci piring, om!” jelas Budi.
“Sekarang kamu tunggu Om di meja yang dipojok sana, yah!” perintahnya sambil menunjuk pada meja yang dimaksud.
“Iya, om!!” jawab Budi.

Tak tahu apa yang tercipta di alam pikiran Budi, di pecat adalah kebimbangan yang terbesar yang menjadi alasan si pemilik Rumah Makan itu memanggilnya. Padahal semenjak Budi bekerja di sana tak ada kesalahan yang menjadi alasan untuk mengeluarkannya, dengan pegawai Budi akrab, dengan pekerjaan dia telaten, apalagi dengan majikan yang nota benenya pemilik Rumah Makan, itulah orang yang paling di seganinya selama ini. Lantas, apa yang menyebabkan dia di panggil saat ini secara tiba-tiba.

“Nak!” om Samsul membuka obrolan seraya duduk di kursi yang ada di hadapannya.
“Ada yang ingin Bapak omongkan denganmu!!”
“Mau ngomong apa, om?” tanya Budi balik.
“Kayaknya kamu terlalu kecil Bud, untuk bekerja sebagai pencuci piring”
“Maksud, om?!” tanya Budi heran.
“Begini Bud, sebaiknya kamu sekolah dulu, ntar kalau kamu udah besar baru cari pekerjaan”
“Om lihat sendiri kan keadaanku sekarang, untuk makan saja aku sulit apalagi mau sekolah, lagian aku sudah biasa kok bekerja seperti ini”
“Budi ada niat mau sekolah nggak?”
“kalau niat sih ada, om. Cuma kayaknya aku harus menepisnya karna aku harus bekerja untuk mengganjal perut biar aku bisa hidup lebih lama” jelas Budi dengan menafikkan elegi kedua orang tuanya padanya.
“Sekarang kamu beres-beres, kemudian kita urus segala persyaratan sekolah, ok!”
“Maksud, om?” tanya Budi heran.
“Mulai sekarang kamu sekolah yah nak, masalah biaya biar om yang nanggung, kamu jangan khawatir. Yang jelas kamu pikirkan saja belajar disana nanti” jelas pak Samsul yang sudah sepuluh tahun ini belum memiliki anak seorangpun.
“Benar, om?” tanya Budi tak percaya.
“Iya” jelasnya dengan meyakinkan.

Kali ini alam pikiran Budi di hinggapi oleh berjuta rasa, beribu kisah, dan tumpukan angan-angan yang menjulang tinggi. Tanpa meminta izin Si Kecil langsung memeluk tubuh gendut yang berada di hadapannya sedari tadi.
“Makasih, om!” ungkap Budi pada pak Samsul.
“Jangan panggil aku om, panggil saja Bapak. ok?!”
“Iya, pak!”

By. Bha - Ba El Shiddiq

Lukisan Ananta (Mata Pena 1) I

Aku menghitung tanggal di kalender yang terpampang di dinding kamarku. Tak sampai satu bulan lagi aku akan melayangkan kaki ku ke Mesir. Negeri yang dikenal dengan nama Ummu ad-dunya dan kota peradaban masa silam itu akan aku datangi. Ini adalah cita-citaku sejak lama. Setelah lulus aliyah aku memberanikan diri ikut tes Depag, namun tidak berhasil. Alhamdulillah, papa dan mama bersedia membiayai kuliahku di Al-Azhar. Aku sangat bersyukur sekali ternyata Allah masih memberiku sebuah kesempatan yang amat berharga bagiku.

Dan sekarang aku sedang menyusun jadwal kunjungan ke beberapa kerabat dekat kami. Mama yang menyuruh supaya mereka tidak merasa terlupakan. Besok aku akan ke rumah kakek, kakek harus jadi orang pertama yang aku kunjungi.

Kakek sekarang tinggal menyendiri di rumahnya, nenek sudah lama mendahuluinya menghadap Allah. Walau nenek sudah tiada, kakek bersikukuh tidak mau tinggal bersama kami. Sayang meninggalkan rumah, banyak kenangan manis di sana, katanya. Kakek memang tipe laki-laki yang setia.

* * * *

Pagi-pagi sekali aku sudah berada di atas sepedaku dalam perjalanan menuju rumah kakek. Jarak rumah kami dan rumah kakek tidak bisa dibilang dekat, tapi juga tidak terlalu jauh, jadi masih bisa dijangkau dengan sepeda. Setelah lebih setengah jam, sampai juga aku ke rumah bercat hijau lumut itu.
Rumah mungil, apik dan nyaman cocok sekali untuk tempat peristirahatan masa tua kakek.

Aku melambaikan tangan ke arah kakek yang sedang menyiangi rerumputan yang tumbuh bebas di halaman rumahnya.

“ Assalamu’alaikum” teriakku. Kakek menebarkan tawa khasnya ketika melihatku.
“ Wa’alaikum salam”jawabnya riang.
“ Hhh….untung kau datang pagi-pagi, jadi bisa bantu kakek beres-beres” sambungnya.
“Yaa.....ka..kek, baru sampai udah disuruh kerja”rajukku
“Seberapa besar capekmu itu, hah? Baru jalan setengah jam pakai sepeda lagi udah mengeluh. Masa kalah dengan kakek yang tua-tua gini masih tetap kuat” kata kakek seraya memamerkan otot-ototnya yang sudah mengeriput. Aku tertawa geli menyaksikannya.
“Iya deh, yang muda ngalah, Rinda ngerjain apa nih kek?”tanyaku sambil melihat ke sekeliling.
“Bongkar gudang, banyak sekali barang di sana kakek tidak sanggup mengerjakannya sendiri”
“Katanya kuat?” cibirku dan mempraktekan pamer otot yang di lakukan kakek tadi.
“Ah...kamu ini bisa-bisanya meledek kakek, ya udah ganti baju sana”
Aku menuruti perintahnya, setelah mengganti baju aku menuju gudang yang ada di belakang rumah.
Ups, banyak sekali barang yang ada disini, hampir memenuhi gudang.
“Ayo….kok bengong?” tegur kakek
“Banyak bener, sudah berapa lama gudang ini tidak dibersihkan?”
“Sejak kakek penganten baru” jawab kakek sambil nyengir.
Ho…o pantas. Berarti sudah lebih setengah abad bila kuhitung-hitung.

“Kita mengepak barang-barang kecil saja kedalam kardus, barang yang besar nanti kakek suruh orang mengangkutnya”jelas kakek.
Kami pun mulai berkerja, kerja bareng kakek amat menyenangkan. Di sela-sela kami mengepak barang dia banyak bercerita tentang masa mudanya, tentang perkerjaannya dulu, juga cerita-cerita lain yang menurutku amat lucu.
Sehingga tidak terasa hari hampir siang, aku menghembuskan nafasku.

“Capek ya?”tanya kakek
“Sudah tahu nanya?”
“Ya udah kita shalat dzuhur dulu, baru lanjutkan”
“Ntar kek, Rinda mau istirahat dulu” aku duduk di sebuah kotak kayu.

Tak sengaja mataku tertumpu pada sebuah lukisan yang terasa aneh. Disini memang banyak lukisan kakek, tapi lukisan tersebut beda kurasa. Tanganku meraihnya dan menghapus debu-debu yang menyelimutinya. Sekarang yang ada adalah lukisan seorang gadis berambut hitam panjang bergelombang, alisnya tebal, hidungnya bangir, matanya sendu menatap ke depan. Gadis itu memakai gaun hitam, tangannya memegang buga mawar yang juga berwarna hitam. Latar lukisan itu sepertinya langit yang sudah senja. Sangat jelas lukisan itu menggambarkan kesedihan yang amat dalam. Aku menebak ini pasti lukisan kematian. Aku memandang ke arah kakek, rasa ingin tahuku muncul.

“Ini lukisan siapa kek?”tanyaku hati-hati.
“Apa?”aku mengulang pertanyaanku.
“Oh itu lukisan Ananta”jawabnya singkat.
“Ananta?” aku mengernyitkan keningku. Aku belum pernah mendengar nama itu dari mulut kakek.
“Siapa dia kek? Orang yang istimewakah?”mataku menyelidik kearahnya
“Ya…..sangat istimewa”kakek mengangguk-anggukkan kepalanya. Aku masih menunggu lanjutannya.
“Ananta adalah putri kakek yang pertama, kakak papamu” ia menarik nafas panjang. Kakak papa? Setahuku papa adalah anak tunggal kakek.
Kakek melanjutkan ceritanya.
“Dia meninggal sebelum usianya genap sebulan”
“Meninggal ketika usianya belum genap sebulan? tapi …….”
“Tapi mengapa kakek melukis seorang gadis dewasa?”potong kakek seolah tahu apa yang ada di benakku. Mulutnya kembali terbuka dan mengalirlah cerita yang ia simpan selama ini.
“Kakek tidak tahu. Waktu itu kakek tidak punya objek yang akan dilukis. Lalu tiba-tiba kakek teringat Ananta. Ketika itu, jika Ananta masih hidup ia pasti berumur delapan belas tahun. Kakek membayangkan bagaimana wajah Ananta jika berusia delapan belas. Dan bayangannya seolah berwujud di hadapan kakek. Tangan kakek bergerak begitu saja mengikuti kata hati. Dan hasilnya lukisan itu terasa sangat hidup”
Aku membenarkan kata kakek, lukisan ini memang sangat hidup.
“Tapi mengapa kakek melukisnya seperti ini? Gaun hitam, bunga berwarna hitam, langit senja?”
“Kakek ingin orang yang melihatnya tahu bahwa orang yang dilukis itu telah tiada” ada gurat kesedihan di wajah kakek.
“Sudahlah itu hanya goresan kesedihan saja. Ayo shalat” ajak kakek lalu meninggalkanku.
Aku masih terdiam di tempat dudukku, kupandangi lagi lukisan tersebut.
Bibi Ananta ……ah mengapa aku tak sempat mengenalmu. Ingin sekali aku memajangnya di kamarku. Tapi jika teringat hadits nabi yang melarang memajang gambar makhluk hidup aku mengurungkan niatku. Aku tak ingin rumahku dijauhi malaikat.
Aku pun memasukkannya ke dalam sebuah kotak dan hendak menyimpannya saja.

* * * * * *

Hari itu sudah berlalu, dan aku sekarang sudah berada di Mesir, negeri impianku. Tak terasa sudah dua bulan aku disini. Kini aku sedang menyusuri jalan bawwaba talta, jalan menuju rumahku. Sambil berjalan anganku bermain ke saat di mana aku diberangkatkan. Terbayang di benakku wajah papa, mama, ke dua kakakku, juga kakek.

cucunya, aku bangga karena kakekku adalah seorang pelukis ternama. Lukisannya dikenal banyak orang . Dan juga sedikit banyak darah seninya mengalir di tubuhku, aku juga senang melukis namun tidak seproduktif dan sebagus kakek.

Kebanggaan itu berakhir ketika aku membaca sebuah hadits dalam salah satu buku yang kupinjam di perpustakaan pondok. Hadits secara jelas mengaharamkan segala bentuk lukisan dan patung yang menyerupai ciptaan Allah. Ketika kuutarakan kesedihanku kakek tidak lagi melukis objek makhluk hidup. Dia sekarang banyak melukis alam, benda mati juga lukisan abstrak.
Lamunanku akan terus berlanjut jika seseorang tidak menubrukku.

“Maaf...” kata orang yang menubrukku, seorang wanita yang memakai cadar. Dia mengulurkan tangannya.
“Tak apa seharusnya aku yang minta maaf karena melamun sejak tadi” aku tersenyum dan menyambut uluran tangannya.
“Aku Nita” dia mulai memperkenalkan diri.
“Rinda” kataku singkat
“Anak baru juga ya?” tanyanya
“Iya “aku tersenyum
“Sama dong” aku tertawa kecil
“Tinggal disini ya?” tanyaku
“Iya, kamu?”
“Dua sama” jawabku dengan mengacungkan kedua jemariku.
“Kamu pandai melucu ya?”
“Ah...ngak juga, buktinya aku ngak terpilih jadi anggota srimulat”
“Emang pernah daftar?” aku menganggukkan kepala.
“Terus”
‘Terus kata pengujinya aku terlalu cantik untuk jadi seorang pelawak”
“Dasar”kami tertawa bersama.
“Eh sudah nyampe, mampir yuk kerumahku!! Itu yang di tingkat tiga yang ada balkon berwarna hijau”
“Lain kali aja deh ....aku pengen cepat-cepat pulang ke rumah, capek” tolakku halus.
“ok, bener ya?”
“Ho.. ohh swear dua minggu”
“Lama banget dua minggu”protesnya
“Yah kalo kelamaan kamu aja yang kerumahku”
“Btw rumah kamu dimana?”
Aku menyebutkan alamat rumahku beserta nomor teleponnya, dia segera mencatatnya.
“Kayaknya nggak terlalu jauh dari sini “gumamnya
“Emang nggak jauh kok”
“Udah ya aku masuk duluan, assalamu’alaikum”pamitnya
“Wa’alaikumsalam” pertemuan yang singkat.
Aku melanjutkan langkahku, senangnya dapat temen baru.

* * * *

“Rinda....ada telepon nih” teriak Nur.
“Siapa? “aku mendekat dan meraih gagang telepon dari tangannya.
“Temanmu katanya”
“Halo assalamu’alaikum”sapaku.
“Wa’alaikumsalam, Rinda kan?”
“Iya........ini siapa ya?”
“Nita” aku sedikit mengingat ingat, Nita? Oh iya anak yang bercadar itu.
“Sore ini aku kerumahmu ya? Menganggu tidak”
“Oh tentu saja ..........tidak” dia tertawa mendengar ucapanku.
“Asal jangan lupa,,,,, buah tangannya”
“Beres mau apa?”
“Duren”pintaku asal.
“Hah!! kalo minta yang bener dong. Masak aku harus pulang ke Indonesia cuma karena sebiji duren”
“Lagian pake nanya!”
“Iya deh, udah nih aku mo siap-siap”
“Ok bos. Sampai jumpa di istanaku”
“assalamu’alaikum”
“wa’alaikumsalam”

* * * * * *

Sore ini Nita benar-benar datang ke rumahku. Teman-temanku sedang tidak ada di rumah. Dia agak kikuk saat masuk.
“Maklum baru pertama kali kesini” katanya
“Jangan gitu lah, anggap aja rumah sendiri. Nih baju ganti, nginep sini kan?”
dia menerima baju yang kuangsurkan dan masuk ke kamar.
Tidak berapa lama, Nita keluar kamar. Untuk kali pertama aku melihat wajah yang sebelumnya tertutup cadar itu.
Rambutnya yang hitam, panjang dan bergelombang, alisnya yang tebal, hidung bangirnya, mata sendunya mengingatkanku pada sesuatu. Aku memutar otakku mengingatnya.
LUKISAN ANANTA!!!!

Allahu akbar, Nita benar-benar persis dengan Ananta dalam lukisan kakek.
Kuperjelas lagi penglihatanku, tidak salah benar-benar mirip.
Nita menyadari kebengonganku.
“Rin.....ada apa? Kamu kesambet ya?” tangannya melambai-lambai di depan wajahku.
“Wajahmu.....”kata-kataku menggantung ragu.
“Wajahku? Ada apa dengan wajahku?”Nita mengusap-usap wajahnya.
“Wajahmu mirip sekali dengan........”aku bingung apakah aku harus memberitahunya.
“Mirip dengan siapa?” Nita terlihat penasaran.
“Monyet!!!ha...ha..ha, ketipu lo”aku menarik nafas lega, hampir.
“Huh, cakep-cakep gini dibilang monyet” gerutu Nita kesal.
“Sorry deh aku memang suka iseng, just kidding fren” bujukku seraya tersenyum.

Aku tak perlu memberitahumu tentang ini, Nit. Biar aku saja yang tahu, biar Tuhan yang menyingkap segala rahasia ciptaannya.
Kakek.......Anantamu memang nyata, dia tercipta bukan hanya dalam lukisan namun dia juga tercipta sebagai manusia seutuhnya dan.....masih hidup.
Subhanallah.

By.
Dina Rosa
Cairo, 24 Sep. 05

Sastra; antara transformasi dan pergesekan (Kredo)

Syair 'puisi' merupakan sebuah bentuk ekspresi sastra yang muncul sejak lama sekali. Ekspresi sastra ini sudah dikenal di belahan bumi bagian barat, khususnya Yunani beberapa ribu tahun sebelum masehi, terbukti dengan adanya beberapa karya sastra dalam bentuk puisi, yang dihasilkan oleh mereka baik dalam bahasa Yunani, ataupun sudah diterjemahkan ke dalam bahasa bahasa lain seperti Romawi dan Persi contohnya Iliade, syair ini ditulis oleh penyair Yunani Homerus berjudul Kemarahan Akhilius. Odessa, menceritakan kedatangan Odessa dari peperangan Troya setelah sepuluh tahun berjuang dan meninggakan tempatnya. Juga terdapat beberapa karya umat lainnya seperti Ineide, karya penyair Romawi Vergilius, menceritakan tentang jiwa kebangsaan dan patriotisme bangasa tersebut.


Kendatipun belahan bumi barat sudah mengahsilkan karya syair sejak ribuan tahun silam, namun tak dapat dipungkiri 'kakek sastra' ini mulai mencapai kegemilangannya baru pada tiga ratus atau empat ratus tahun setelah masehi. Tepatnya di tanah tandus semenanjung Arabiya, oleh bangsa yang disebut sebagai bagian dari bangasa Semit (baca : Arab). Bentuk syair ini kita kenal dengan istilah Al-syi’ru’L jâhili, dan dapat kita temukan manuskrip-manuskripnya di buku-buku kesusastraan Arab, baik yang ditulis oleh sastrawan klasik semisal Ibnu Qutaibah, Al-Ishfihani, dan Al-Buhturi, juga beberapa sastrawan Arab moderen fase kebangkitan, semisal Al-Barudi, dan Ahmad Syauqi. Walaupun tidak ditulis seutuhnya, namun mereka banyak memasukan unsur unsur struktur kalimat Arab klasik ke dalam karya karya syair mereka, yang sangat terkenal sekali di kalangan sastrawan Arab dengan istilah Al-Muâ’rodoh.

Syair Jahili sampai sekarang masih menjadi rujukan bahasa setelah Al-Quran karena keaslian dan ketinggian nilai serta corak sastranya. Pada masa tersebut bahasa arab masih identik dengan keorisinilannya, dan belum dimasuki unsur unsur bahasa lain, walaupun tidak niscaya ada beberapa kalimat asing yang menjelma dan menjadi bagian dari bahasa Arab. Ada Beberapa tokoh penyair jahiliah yang masih sampai ke telinga kita semisal Umru’ul Qais, Antarah Al Habsyi, Amru ibnu Kultsum, Zuhair bin Abi Sulma, dan ada sederet lagi nama penyair penyair jahiliah yang banyak sekali memberikan kontribusi sastra kepada kesusastraan Arab khususnya, dan kepada kesusastraan dunia pada umumnya.

Setelah fase Jahiliyah maka muncul pula fase berikutnya Shodru’L Islâm, Umayyah, Abbâsiah, Ustmâniah dan moderen. Kesemuanya menyumbangkan karya-karya sastra yang sangat menakjubkan kecuali kesusastraan Ustmâni, karena sangat anti kebangkitan dan cenderung pasif dalam penulisan kalimat, tidak mampu melenturkannya. Ataupun mengekspresikan intuisi+metafor dengan sebaik mungkin. Betapa tidak, rezim penguasa masa ini lebih memperhatikan urusan militer dan armada, bukan masalah sastra atupun keilmuan. Dan akhirnya pun menimbulkan geliat protes dan kritik tajam dari kalangan pembaharu modern semisal Rifaah Bik Tohtowi ataupun Abduh.

Pada empat masa selain masa nomor tiga tadi, banyak sekali karya karya sastra, khususnya syair yang diterjemahkan kedalam bahasa lain. Tak ketinggalan Eropa juga banyak sekali mentransper sastra Arab melalui pertemuan bangsa ini dengan kaum terpelajar Arab yang menetap di sana (baca : Andalusia). Sebagaimana disinyalir oleh seorang orientalis barat, Bapa Juan Andreas dalam buku Angel Gonzales velensia berjudul Historia de La Literatura Arabigo Espanola. Maka tak ayal ada sederet sastrawan barat yang terpengaruh oleh sastra Arab paska Renneisance, bahkan banyak juga menjiplak dari karya-karya mereka, sampai suatu ketika Eropa mencapai kegemilangannya dalam sastra dan ilmu pengetahuan, sementara Arab terpuruk dalam lembah kemunduruan.

Tak luput juga Indonesia, sedikit banyak ada kaitannya dengan sastra Arab yang mulai terjalin semenjak orang-orang Persi dan Arab menginjakan kaki mereka di belahan bumi asia tenggara ini, terbukti dengan adanya penulisan bahasa melayu dengan huruf-huruf Arab. Juga ada banyak kosa kata melayu, sebagai bahasa asli Indonesia yang diambil dari bahasa Arab, serta munculnya jenis jenis karya sastra Puisi, Pantun, Gurindam melayu yang mempunyai corak kesamaan dengan Sastra Arab, seperti persamaan ujung kalimat pada puisi (Qofiyah). Kendati pada abad sekarang orang cenderung lebih suka puisi puisi kontemporer yang tidak terlalu memperhatikan ujung kalimat. Bahkan ada beberapa karya sastra yang hampir mirip dengan sastra Arab seperti karya karya Buya Hamka yang sedikit banyak ada keterpengaruhannya dengan karya karya sastra Luthfi Sayyid Al-Manfalûthi di Mesir.

Ada beberapa nilai yang dapat kita garis bawahi, bahwa sastra Melayu dan Indonesia mulai banyak memberikan sumbangsihnya pada abad delapan belas dan sembilan belas, walupun sebelumnya ada banyak karya sastra, namun hanya dengan bahasa Jawa atau Sansekerta. Ada beberapa penyair serta sastrawan yang aktif pada zaman tersebut dan kebanyakan dari Sumatra ataupun karena kedekatannya dengan Malaka dan Melayu. Sampai suatu ketika di zaman kolonialisme Belanda, pada awal dan pertengahan abad dua puluh muncul sederet sastrawan Indonesia terkenal semisal Amir Hamzah, Armin Pane, Sutan Takdir Ali Syah bana, Khairil Anwar, dll, yang pada akhirnya banyak memberikan kontribusi sastra kepada bangsa Indonesia. Bagaimana tidak sampai sekarang begitu asyiknya anak-anak bangsa menikmati karya monumental Khairil yang kita kenal semenjak di sekolah dasar dulu, seperti puisinya Aku, Senja di pelabuhan kecil ataupun derai-derai cemara.

Dengan munculnya karya-karya sastra ini semakin mendorong dan memacu generasi muda untuk turut juga menyumbangkan karya-karya mereka. Tak terbendung, maka bemunculan berbagai aliran kesusastraan dari yang taradisional, fundamentalis sampai sosialis. Kita pun masih mengingat sebuah kelompok sastra Lekra, sebagai tandingan dari mani kebu yang sempat berjaya di masa orde lama, dan banyak meninggalkan karya-karya sastra. Sehingga bias tersebut pun masih memberikan akses kepada kesusastraan zaman sekarang. Ditandai dengan munculnya kembali kelompok-kelompok pewaris masa lampau dalam berbagai ciri khas masing masing.

Kita berharap agar gerak kemajuan sastra dan tulis menulis akan terus pesat, dan semakin banyak pula generasi generasi yang intens dalam bidang ini. Juga bertambah minat untuk mengkonsumsi hasil hasilnya.

Transformasi
Dari paparan wacana sejarah di atas dapat diketahui, bahwa ada banyak peninggalan serta karya sastra umat sebelum kita yang mestinya kita ketahui. Baik dari timur ataupun barat, misalnya saja sastra jahiliyah yang paling populer seperti Al-mu’allaqotu’L sab’ah yaitu kumpulan syair terbaik di pasar Ukkaz dan di tempel di dinding Kabah pada masa tersebut. Ataupun karya-karya pada masa sesudahnya, seperti Burdahnya Ka’ab bin Zuhair juga syair Abdullah bin Rowahah, yang digolongkan sebagai sastrawan-sastrawan pembela Islam di zaman Rasulullah, juga syair-syair pilosofi Abu Tamam dan Abu’L Alâ Al-Ma’arri.

Merupakan fakta yang sangat jelas dan tidak dipungkiri oleh para peneliti, bahwasanya proses transformasi ataupun penterjemahan, merupakan langkah yang sangat positif sekali untuk mengetahui peradaban umat lain, khususnya sastra. Sebagaimana umat Islam pada masa Khilafah Abbasiyah dahulu yang banyak menterjemahkan berbagai macam disiplin ilmu yang tidak ada pada mereka, seperti Kedokteran, Fisika, Matematika, Kimia, dan Filsafat. Sehingga mereka pun mengembangkan ilmu-ilmu tersebut, dengan landasan salah satu hadits Rasulullah Uthlubu’L ‘ilma walau bi’L shîn, yang artinya, tututlah ilmu walaupun ke negeri Cina.

Dan proses tranformasi ini pun sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan pola pikir ilmuan Islam dalam memahami konteks agama, juga menyebabkan terbentuknya berbagai macam kelompok, seperti Nuhatu’L bashroh, atau ahli Mantiq karena mereka cenderung menggunakan istilah-istilah Mantiq. Pokoknya mereka telah mengambil manfaat dari usaha-usaha mereka dan juga umat lain yang mempelajari bahasa mereka. Tidak mustahil kita pun bisa demikian. Kenapa tidak?! Mentransfer karya bangsa lain baik Arab ataupun Barat, dengan memberikan corak pembaharuan dan bukan saja memindahkan. Mengulangi kembali apa yang sudah dicapai umat Islam Arab dulu dengan metode dan sistem yang lebih sempurna, khusunya dalam bidang sastra. Kalaupun ada sebagian golongan yang mencemaskan, akan identitas peradaban dan sastra kita dan ditakutkan akan terkikis serta akan masuk gejala-gejala kebudayaan Barat yang serba pulgar. Sesungguhnya kita dituntut untuk selalu kritis bukan hanya menerima dan mengambil, agar tidak terpuruk dalam krisis identitas dan lebih mencintai budaya asing.

Dan pada dasarnya di dalam transformasi sastra ataupun budaya tidak ada bahaya, karena bahaya itu sebenarnya timbul dari kesalahan kita dalam memilih, memahami dan beraspirasi. Maka ketika kita dalam tiga hal tadi harus selalu ingat terhadap ayat yang mengatakan “falyanzhur ayyuhã azkâ tho’âman falya’tikum bi rizqin minhu wal yatalatthaf” (Qs. Al Kahfi:19).

Oleh: Ahmed Falhan
Mahasiswa tingkat akhir Fak. Sastra Arab Univ. Al Azhar Kairo Mesir

Bermula (Kata - kata)

Tiada pantas kata disa'at bermula, hanya puja nan puji yang senantiasa ada. Kepada Dzat yang penuh Maha, atas segala karunia. Alhamdulillah!!!