5s [katananjiwa]

Sastra; antara transformasi dan pergesekan (Kredo)

Syair 'puisi' merupakan sebuah bentuk ekspresi sastra yang muncul sejak lama sekali. Ekspresi sastra ini sudah dikenal di belahan bumi bagian barat, khususnya Yunani beberapa ribu tahun sebelum masehi, terbukti dengan adanya beberapa karya sastra dalam bentuk puisi, yang dihasilkan oleh mereka baik dalam bahasa Yunani, ataupun sudah diterjemahkan ke dalam bahasa bahasa lain seperti Romawi dan Persi contohnya Iliade, syair ini ditulis oleh penyair Yunani Homerus berjudul Kemarahan Akhilius. Odessa, menceritakan kedatangan Odessa dari peperangan Troya setelah sepuluh tahun berjuang dan meninggakan tempatnya. Juga terdapat beberapa karya umat lainnya seperti Ineide, karya penyair Romawi Vergilius, menceritakan tentang jiwa kebangsaan dan patriotisme bangasa tersebut.


Kendatipun belahan bumi barat sudah mengahsilkan karya syair sejak ribuan tahun silam, namun tak dapat dipungkiri 'kakek sastra' ini mulai mencapai kegemilangannya baru pada tiga ratus atau empat ratus tahun setelah masehi. Tepatnya di tanah tandus semenanjung Arabiya, oleh bangsa yang disebut sebagai bagian dari bangasa Semit (baca : Arab). Bentuk syair ini kita kenal dengan istilah Al-syi’ru’L jâhili, dan dapat kita temukan manuskrip-manuskripnya di buku-buku kesusastraan Arab, baik yang ditulis oleh sastrawan klasik semisal Ibnu Qutaibah, Al-Ishfihani, dan Al-Buhturi, juga beberapa sastrawan Arab moderen fase kebangkitan, semisal Al-Barudi, dan Ahmad Syauqi. Walaupun tidak ditulis seutuhnya, namun mereka banyak memasukan unsur unsur struktur kalimat Arab klasik ke dalam karya karya syair mereka, yang sangat terkenal sekali di kalangan sastrawan Arab dengan istilah Al-Muâ’rodoh.

Syair Jahili sampai sekarang masih menjadi rujukan bahasa setelah Al-Quran karena keaslian dan ketinggian nilai serta corak sastranya. Pada masa tersebut bahasa arab masih identik dengan keorisinilannya, dan belum dimasuki unsur unsur bahasa lain, walaupun tidak niscaya ada beberapa kalimat asing yang menjelma dan menjadi bagian dari bahasa Arab. Ada Beberapa tokoh penyair jahiliah yang masih sampai ke telinga kita semisal Umru’ul Qais, Antarah Al Habsyi, Amru ibnu Kultsum, Zuhair bin Abi Sulma, dan ada sederet lagi nama penyair penyair jahiliah yang banyak sekali memberikan kontribusi sastra kepada kesusastraan Arab khususnya, dan kepada kesusastraan dunia pada umumnya.

Setelah fase Jahiliyah maka muncul pula fase berikutnya Shodru’L Islâm, Umayyah, Abbâsiah, Ustmâniah dan moderen. Kesemuanya menyumbangkan karya-karya sastra yang sangat menakjubkan kecuali kesusastraan Ustmâni, karena sangat anti kebangkitan dan cenderung pasif dalam penulisan kalimat, tidak mampu melenturkannya. Ataupun mengekspresikan intuisi+metafor dengan sebaik mungkin. Betapa tidak, rezim penguasa masa ini lebih memperhatikan urusan militer dan armada, bukan masalah sastra atupun keilmuan. Dan akhirnya pun menimbulkan geliat protes dan kritik tajam dari kalangan pembaharu modern semisal Rifaah Bik Tohtowi ataupun Abduh.

Pada empat masa selain masa nomor tiga tadi, banyak sekali karya karya sastra, khususnya syair yang diterjemahkan kedalam bahasa lain. Tak ketinggalan Eropa juga banyak sekali mentransper sastra Arab melalui pertemuan bangsa ini dengan kaum terpelajar Arab yang menetap di sana (baca : Andalusia). Sebagaimana disinyalir oleh seorang orientalis barat, Bapa Juan Andreas dalam buku Angel Gonzales velensia berjudul Historia de La Literatura Arabigo Espanola. Maka tak ayal ada sederet sastrawan barat yang terpengaruh oleh sastra Arab paska Renneisance, bahkan banyak juga menjiplak dari karya-karya mereka, sampai suatu ketika Eropa mencapai kegemilangannya dalam sastra dan ilmu pengetahuan, sementara Arab terpuruk dalam lembah kemunduruan.

Tak luput juga Indonesia, sedikit banyak ada kaitannya dengan sastra Arab yang mulai terjalin semenjak orang-orang Persi dan Arab menginjakan kaki mereka di belahan bumi asia tenggara ini, terbukti dengan adanya penulisan bahasa melayu dengan huruf-huruf Arab. Juga ada banyak kosa kata melayu, sebagai bahasa asli Indonesia yang diambil dari bahasa Arab, serta munculnya jenis jenis karya sastra Puisi, Pantun, Gurindam melayu yang mempunyai corak kesamaan dengan Sastra Arab, seperti persamaan ujung kalimat pada puisi (Qofiyah). Kendati pada abad sekarang orang cenderung lebih suka puisi puisi kontemporer yang tidak terlalu memperhatikan ujung kalimat. Bahkan ada beberapa karya sastra yang hampir mirip dengan sastra Arab seperti karya karya Buya Hamka yang sedikit banyak ada keterpengaruhannya dengan karya karya sastra Luthfi Sayyid Al-Manfalûthi di Mesir.

Ada beberapa nilai yang dapat kita garis bawahi, bahwa sastra Melayu dan Indonesia mulai banyak memberikan sumbangsihnya pada abad delapan belas dan sembilan belas, walupun sebelumnya ada banyak karya sastra, namun hanya dengan bahasa Jawa atau Sansekerta. Ada beberapa penyair serta sastrawan yang aktif pada zaman tersebut dan kebanyakan dari Sumatra ataupun karena kedekatannya dengan Malaka dan Melayu. Sampai suatu ketika di zaman kolonialisme Belanda, pada awal dan pertengahan abad dua puluh muncul sederet sastrawan Indonesia terkenal semisal Amir Hamzah, Armin Pane, Sutan Takdir Ali Syah bana, Khairil Anwar, dll, yang pada akhirnya banyak memberikan kontribusi sastra kepada bangsa Indonesia. Bagaimana tidak sampai sekarang begitu asyiknya anak-anak bangsa menikmati karya monumental Khairil yang kita kenal semenjak di sekolah dasar dulu, seperti puisinya Aku, Senja di pelabuhan kecil ataupun derai-derai cemara.

Dengan munculnya karya-karya sastra ini semakin mendorong dan memacu generasi muda untuk turut juga menyumbangkan karya-karya mereka. Tak terbendung, maka bemunculan berbagai aliran kesusastraan dari yang taradisional, fundamentalis sampai sosialis. Kita pun masih mengingat sebuah kelompok sastra Lekra, sebagai tandingan dari mani kebu yang sempat berjaya di masa orde lama, dan banyak meninggalkan karya-karya sastra. Sehingga bias tersebut pun masih memberikan akses kepada kesusastraan zaman sekarang. Ditandai dengan munculnya kembali kelompok-kelompok pewaris masa lampau dalam berbagai ciri khas masing masing.

Kita berharap agar gerak kemajuan sastra dan tulis menulis akan terus pesat, dan semakin banyak pula generasi generasi yang intens dalam bidang ini. Juga bertambah minat untuk mengkonsumsi hasil hasilnya.

Transformasi
Dari paparan wacana sejarah di atas dapat diketahui, bahwa ada banyak peninggalan serta karya sastra umat sebelum kita yang mestinya kita ketahui. Baik dari timur ataupun barat, misalnya saja sastra jahiliyah yang paling populer seperti Al-mu’allaqotu’L sab’ah yaitu kumpulan syair terbaik di pasar Ukkaz dan di tempel di dinding Kabah pada masa tersebut. Ataupun karya-karya pada masa sesudahnya, seperti Burdahnya Ka’ab bin Zuhair juga syair Abdullah bin Rowahah, yang digolongkan sebagai sastrawan-sastrawan pembela Islam di zaman Rasulullah, juga syair-syair pilosofi Abu Tamam dan Abu’L Alâ Al-Ma’arri.

Merupakan fakta yang sangat jelas dan tidak dipungkiri oleh para peneliti, bahwasanya proses transformasi ataupun penterjemahan, merupakan langkah yang sangat positif sekali untuk mengetahui peradaban umat lain, khususnya sastra. Sebagaimana umat Islam pada masa Khilafah Abbasiyah dahulu yang banyak menterjemahkan berbagai macam disiplin ilmu yang tidak ada pada mereka, seperti Kedokteran, Fisika, Matematika, Kimia, dan Filsafat. Sehingga mereka pun mengembangkan ilmu-ilmu tersebut, dengan landasan salah satu hadits Rasulullah Uthlubu’L ‘ilma walau bi’L shîn, yang artinya, tututlah ilmu walaupun ke negeri Cina.

Dan proses tranformasi ini pun sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan pola pikir ilmuan Islam dalam memahami konteks agama, juga menyebabkan terbentuknya berbagai macam kelompok, seperti Nuhatu’L bashroh, atau ahli Mantiq karena mereka cenderung menggunakan istilah-istilah Mantiq. Pokoknya mereka telah mengambil manfaat dari usaha-usaha mereka dan juga umat lain yang mempelajari bahasa mereka. Tidak mustahil kita pun bisa demikian. Kenapa tidak?! Mentransfer karya bangsa lain baik Arab ataupun Barat, dengan memberikan corak pembaharuan dan bukan saja memindahkan. Mengulangi kembali apa yang sudah dicapai umat Islam Arab dulu dengan metode dan sistem yang lebih sempurna, khusunya dalam bidang sastra. Kalaupun ada sebagian golongan yang mencemaskan, akan identitas peradaban dan sastra kita dan ditakutkan akan terkikis serta akan masuk gejala-gejala kebudayaan Barat yang serba pulgar. Sesungguhnya kita dituntut untuk selalu kritis bukan hanya menerima dan mengambil, agar tidak terpuruk dalam krisis identitas dan lebih mencintai budaya asing.

Dan pada dasarnya di dalam transformasi sastra ataupun budaya tidak ada bahaya, karena bahaya itu sebenarnya timbul dari kesalahan kita dalam memilih, memahami dan beraspirasi. Maka ketika kita dalam tiga hal tadi harus selalu ingat terhadap ayat yang mengatakan “falyanzhur ayyuhã azkâ tho’âman falya’tikum bi rizqin minhu wal yatalatthaf” (Qs. Al Kahfi:19).

Oleh: Ahmed Falhan
Mahasiswa tingkat akhir Fak. Sastra Arab Univ. Al Azhar Kairo Mesir

0 Comments:

Post a Comment

<< Home