5s [katananjiwa]

Lukisan Ananta (Mata Pena 1) I

Aku menghitung tanggal di kalender yang terpampang di dinding kamarku. Tak sampai satu bulan lagi aku akan melayangkan kaki ku ke Mesir. Negeri yang dikenal dengan nama Ummu ad-dunya dan kota peradaban masa silam itu akan aku datangi. Ini adalah cita-citaku sejak lama. Setelah lulus aliyah aku memberanikan diri ikut tes Depag, namun tidak berhasil. Alhamdulillah, papa dan mama bersedia membiayai kuliahku di Al-Azhar. Aku sangat bersyukur sekali ternyata Allah masih memberiku sebuah kesempatan yang amat berharga bagiku.

Dan sekarang aku sedang menyusun jadwal kunjungan ke beberapa kerabat dekat kami. Mama yang menyuruh supaya mereka tidak merasa terlupakan. Besok aku akan ke rumah kakek, kakek harus jadi orang pertama yang aku kunjungi.

Kakek sekarang tinggal menyendiri di rumahnya, nenek sudah lama mendahuluinya menghadap Allah. Walau nenek sudah tiada, kakek bersikukuh tidak mau tinggal bersama kami. Sayang meninggalkan rumah, banyak kenangan manis di sana, katanya. Kakek memang tipe laki-laki yang setia.

* * * *

Pagi-pagi sekali aku sudah berada di atas sepedaku dalam perjalanan menuju rumah kakek. Jarak rumah kami dan rumah kakek tidak bisa dibilang dekat, tapi juga tidak terlalu jauh, jadi masih bisa dijangkau dengan sepeda. Setelah lebih setengah jam, sampai juga aku ke rumah bercat hijau lumut itu.
Rumah mungil, apik dan nyaman cocok sekali untuk tempat peristirahatan masa tua kakek.

Aku melambaikan tangan ke arah kakek yang sedang menyiangi rerumputan yang tumbuh bebas di halaman rumahnya.

“ Assalamu’alaikum” teriakku. Kakek menebarkan tawa khasnya ketika melihatku.
“ Wa’alaikum salam”jawabnya riang.
“ Hhh….untung kau datang pagi-pagi, jadi bisa bantu kakek beres-beres” sambungnya.
“Yaa.....ka..kek, baru sampai udah disuruh kerja”rajukku
“Seberapa besar capekmu itu, hah? Baru jalan setengah jam pakai sepeda lagi udah mengeluh. Masa kalah dengan kakek yang tua-tua gini masih tetap kuat” kata kakek seraya memamerkan otot-ototnya yang sudah mengeriput. Aku tertawa geli menyaksikannya.
“Iya deh, yang muda ngalah, Rinda ngerjain apa nih kek?”tanyaku sambil melihat ke sekeliling.
“Bongkar gudang, banyak sekali barang di sana kakek tidak sanggup mengerjakannya sendiri”
“Katanya kuat?” cibirku dan mempraktekan pamer otot yang di lakukan kakek tadi.
“Ah...kamu ini bisa-bisanya meledek kakek, ya udah ganti baju sana”
Aku menuruti perintahnya, setelah mengganti baju aku menuju gudang yang ada di belakang rumah.
Ups, banyak sekali barang yang ada disini, hampir memenuhi gudang.
“Ayo….kok bengong?” tegur kakek
“Banyak bener, sudah berapa lama gudang ini tidak dibersihkan?”
“Sejak kakek penganten baru” jawab kakek sambil nyengir.
Ho…o pantas. Berarti sudah lebih setengah abad bila kuhitung-hitung.

“Kita mengepak barang-barang kecil saja kedalam kardus, barang yang besar nanti kakek suruh orang mengangkutnya”jelas kakek.
Kami pun mulai berkerja, kerja bareng kakek amat menyenangkan. Di sela-sela kami mengepak barang dia banyak bercerita tentang masa mudanya, tentang perkerjaannya dulu, juga cerita-cerita lain yang menurutku amat lucu.
Sehingga tidak terasa hari hampir siang, aku menghembuskan nafasku.

“Capek ya?”tanya kakek
“Sudah tahu nanya?”
“Ya udah kita shalat dzuhur dulu, baru lanjutkan”
“Ntar kek, Rinda mau istirahat dulu” aku duduk di sebuah kotak kayu.

Tak sengaja mataku tertumpu pada sebuah lukisan yang terasa aneh. Disini memang banyak lukisan kakek, tapi lukisan tersebut beda kurasa. Tanganku meraihnya dan menghapus debu-debu yang menyelimutinya. Sekarang yang ada adalah lukisan seorang gadis berambut hitam panjang bergelombang, alisnya tebal, hidungnya bangir, matanya sendu menatap ke depan. Gadis itu memakai gaun hitam, tangannya memegang buga mawar yang juga berwarna hitam. Latar lukisan itu sepertinya langit yang sudah senja. Sangat jelas lukisan itu menggambarkan kesedihan yang amat dalam. Aku menebak ini pasti lukisan kematian. Aku memandang ke arah kakek, rasa ingin tahuku muncul.

“Ini lukisan siapa kek?”tanyaku hati-hati.
“Apa?”aku mengulang pertanyaanku.
“Oh itu lukisan Ananta”jawabnya singkat.
“Ananta?” aku mengernyitkan keningku. Aku belum pernah mendengar nama itu dari mulut kakek.
“Siapa dia kek? Orang yang istimewakah?”mataku menyelidik kearahnya
“Ya…..sangat istimewa”kakek mengangguk-anggukkan kepalanya. Aku masih menunggu lanjutannya.
“Ananta adalah putri kakek yang pertama, kakak papamu” ia menarik nafas panjang. Kakak papa? Setahuku papa adalah anak tunggal kakek.
Kakek melanjutkan ceritanya.
“Dia meninggal sebelum usianya genap sebulan”
“Meninggal ketika usianya belum genap sebulan? tapi …….”
“Tapi mengapa kakek melukis seorang gadis dewasa?”potong kakek seolah tahu apa yang ada di benakku. Mulutnya kembali terbuka dan mengalirlah cerita yang ia simpan selama ini.
“Kakek tidak tahu. Waktu itu kakek tidak punya objek yang akan dilukis. Lalu tiba-tiba kakek teringat Ananta. Ketika itu, jika Ananta masih hidup ia pasti berumur delapan belas tahun. Kakek membayangkan bagaimana wajah Ananta jika berusia delapan belas. Dan bayangannya seolah berwujud di hadapan kakek. Tangan kakek bergerak begitu saja mengikuti kata hati. Dan hasilnya lukisan itu terasa sangat hidup”
Aku membenarkan kata kakek, lukisan ini memang sangat hidup.
“Tapi mengapa kakek melukisnya seperti ini? Gaun hitam, bunga berwarna hitam, langit senja?”
“Kakek ingin orang yang melihatnya tahu bahwa orang yang dilukis itu telah tiada” ada gurat kesedihan di wajah kakek.
“Sudahlah itu hanya goresan kesedihan saja. Ayo shalat” ajak kakek lalu meninggalkanku.
Aku masih terdiam di tempat dudukku, kupandangi lagi lukisan tersebut.
Bibi Ananta ……ah mengapa aku tak sempat mengenalmu. Ingin sekali aku memajangnya di kamarku. Tapi jika teringat hadits nabi yang melarang memajang gambar makhluk hidup aku mengurungkan niatku. Aku tak ingin rumahku dijauhi malaikat.
Aku pun memasukkannya ke dalam sebuah kotak dan hendak menyimpannya saja.

* * * * * *

Hari itu sudah berlalu, dan aku sekarang sudah berada di Mesir, negeri impianku. Tak terasa sudah dua bulan aku disini. Kini aku sedang menyusuri jalan bawwaba talta, jalan menuju rumahku. Sambil berjalan anganku bermain ke saat di mana aku diberangkatkan. Terbayang di benakku wajah papa, mama, ke dua kakakku, juga kakek.

cucunya, aku bangga karena kakekku adalah seorang pelukis ternama. Lukisannya dikenal banyak orang . Dan juga sedikit banyak darah seninya mengalir di tubuhku, aku juga senang melukis namun tidak seproduktif dan sebagus kakek.

Kebanggaan itu berakhir ketika aku membaca sebuah hadits dalam salah satu buku yang kupinjam di perpustakaan pondok. Hadits secara jelas mengaharamkan segala bentuk lukisan dan patung yang menyerupai ciptaan Allah. Ketika kuutarakan kesedihanku kakek tidak lagi melukis objek makhluk hidup. Dia sekarang banyak melukis alam, benda mati juga lukisan abstrak.
Lamunanku akan terus berlanjut jika seseorang tidak menubrukku.

“Maaf...” kata orang yang menubrukku, seorang wanita yang memakai cadar. Dia mengulurkan tangannya.
“Tak apa seharusnya aku yang minta maaf karena melamun sejak tadi” aku tersenyum dan menyambut uluran tangannya.
“Aku Nita” dia mulai memperkenalkan diri.
“Rinda” kataku singkat
“Anak baru juga ya?” tanyanya
“Iya “aku tersenyum
“Sama dong” aku tertawa kecil
“Tinggal disini ya?” tanyaku
“Iya, kamu?”
“Dua sama” jawabku dengan mengacungkan kedua jemariku.
“Kamu pandai melucu ya?”
“Ah...ngak juga, buktinya aku ngak terpilih jadi anggota srimulat”
“Emang pernah daftar?” aku menganggukkan kepala.
“Terus”
‘Terus kata pengujinya aku terlalu cantik untuk jadi seorang pelawak”
“Dasar”kami tertawa bersama.
“Eh sudah nyampe, mampir yuk kerumahku!! Itu yang di tingkat tiga yang ada balkon berwarna hijau”
“Lain kali aja deh ....aku pengen cepat-cepat pulang ke rumah, capek” tolakku halus.
“ok, bener ya?”
“Ho.. ohh swear dua minggu”
“Lama banget dua minggu”protesnya
“Yah kalo kelamaan kamu aja yang kerumahku”
“Btw rumah kamu dimana?”
Aku menyebutkan alamat rumahku beserta nomor teleponnya, dia segera mencatatnya.
“Kayaknya nggak terlalu jauh dari sini “gumamnya
“Emang nggak jauh kok”
“Udah ya aku masuk duluan, assalamu’alaikum”pamitnya
“Wa’alaikumsalam” pertemuan yang singkat.
Aku melanjutkan langkahku, senangnya dapat temen baru.

* * * *

“Rinda....ada telepon nih” teriak Nur.
“Siapa? “aku mendekat dan meraih gagang telepon dari tangannya.
“Temanmu katanya”
“Halo assalamu’alaikum”sapaku.
“Wa’alaikumsalam, Rinda kan?”
“Iya........ini siapa ya?”
“Nita” aku sedikit mengingat ingat, Nita? Oh iya anak yang bercadar itu.
“Sore ini aku kerumahmu ya? Menganggu tidak”
“Oh tentu saja ..........tidak” dia tertawa mendengar ucapanku.
“Asal jangan lupa,,,,, buah tangannya”
“Beres mau apa?”
“Duren”pintaku asal.
“Hah!! kalo minta yang bener dong. Masak aku harus pulang ke Indonesia cuma karena sebiji duren”
“Lagian pake nanya!”
“Iya deh, udah nih aku mo siap-siap”
“Ok bos. Sampai jumpa di istanaku”
“assalamu’alaikum”
“wa’alaikumsalam”

* * * * * *

Sore ini Nita benar-benar datang ke rumahku. Teman-temanku sedang tidak ada di rumah. Dia agak kikuk saat masuk.
“Maklum baru pertama kali kesini” katanya
“Jangan gitu lah, anggap aja rumah sendiri. Nih baju ganti, nginep sini kan?”
dia menerima baju yang kuangsurkan dan masuk ke kamar.
Tidak berapa lama, Nita keluar kamar. Untuk kali pertama aku melihat wajah yang sebelumnya tertutup cadar itu.
Rambutnya yang hitam, panjang dan bergelombang, alisnya yang tebal, hidung bangirnya, mata sendunya mengingatkanku pada sesuatu. Aku memutar otakku mengingatnya.
LUKISAN ANANTA!!!!

Allahu akbar, Nita benar-benar persis dengan Ananta dalam lukisan kakek.
Kuperjelas lagi penglihatanku, tidak salah benar-benar mirip.
Nita menyadari kebengonganku.
“Rin.....ada apa? Kamu kesambet ya?” tangannya melambai-lambai di depan wajahku.
“Wajahmu.....”kata-kataku menggantung ragu.
“Wajahku? Ada apa dengan wajahku?”Nita mengusap-usap wajahnya.
“Wajahmu mirip sekali dengan........”aku bingung apakah aku harus memberitahunya.
“Mirip dengan siapa?” Nita terlihat penasaran.
“Monyet!!!ha...ha..ha, ketipu lo”aku menarik nafas lega, hampir.
“Huh, cakep-cakep gini dibilang monyet” gerutu Nita kesal.
“Sorry deh aku memang suka iseng, just kidding fren” bujukku seraya tersenyum.

Aku tak perlu memberitahumu tentang ini, Nit. Biar aku saja yang tahu, biar Tuhan yang menyingkap segala rahasia ciptaannya.
Kakek.......Anantamu memang nyata, dia tercipta bukan hanya dalam lukisan namun dia juga tercipta sebagai manusia seutuhnya dan.....masih hidup.
Subhanallah.

By.
Dina Rosa
Cairo, 24 Sep. 05

0 Comments:

Post a Comment

<< Home