5s [katananjiwa]

Belum Berjudul (Mata Pena 2) I

“Budi, Banguuun!”pinta ibu yang sudah berkepala enam itu pada anak semata wayangnya.
“Cepat beresi pakaian!” lanjutnya
“Ada apa sih, mak?” Tanya Budi heran.
“POL PP akan menggusur rumah kita nak!” jelas sang ibu dengan gugup.

Entah apa yang terpikir oleh ibu keturunan Sumatra itu, kala mentari melemparkan cahaya dan memperlihatkan tontonan yang sangat menyakitkan. Gubuk-gubuk mungil yang mereka pertahankan selama dua tahun terakhir sekejap rata di lindas buildozer.

“Sampai kapan lagi kalian menyiksa kami, pak?” desah ibu Nurmi yang sedang mengandung tujuh bulan, dengan air mata yang mengalir dikedua pipinya sambil menahan perih di perut dan jiwanya.

“Kan sudah kami peringati enam bulan terakhir, agar mengosongkan tempat ini. Tapi kalian tidak mengindahkan peringatan kami!” jelas ketua POL PP dengan kesombongan pangkat yang di bawanya.

“Lantas kami harus kemana, pak?” tanya Sutijah, gadis kecil yang seharusnya belum pantas mengetahui semua itu di sela isak tangisnya.

“Kalian sudah tahu, bagi anak-anak di sediakan panti asuhan dan bagi orang tua di sediakan panti jompo. Sesaat suasana hening, karena harus melawan dengan apa lagi, mereka hanya bisa pasrah dengan keputusan yang ada meskipun hati mereka tersayat.

***

Satu persatu warga di kawasan TPA itu menjauh dan menghilang seiring perginya petugas, hanya burung liar dan beberapa ekor anjing yang setia mengintarinya mencari potongan-potongan bangkai jiwa-jiwa yang tertindas.
”Ayo Bud, kito pegi!” ajak ibunya
“Kemano, mak?” Budi balik bertanya.
“Kemano bae kito nyingok, di situlah arah kito” jelas ibunya dengan memunafikkan rasa jiwa yang lagi tersayat.

***

”Mak, minum obatnya dulu baru tidur” perintah budi pada ibunya yang sudah satu minggu terakhir ini terbaring di gubuk mungil barunya karena Liver yang diderita ibunya kambuh lagi.

Setelah penggusuran itu satu-persatu musibah menimpa Budi. Laki-laki belia yang masih dua belas tahunan itu harus bekerja ekstra, dari mencari barang bekas, ngamen di pasar yang cukup melelahkan jika di tempuh dengan berjalan kaki, nyikat sepatu dan lain-lain hanya untuk sesuap nasi dan membeli beberapa butir obat untuk penyakit ibunya yang semakin hari semakin parah.

“Bud, kesini bentar nak. Emak nak ngomong!”pinta ibunya pada budi yang baru saja selesai shalat maghrib dengan sarung lusuh dan pakaian yang sudah beberapa kali di jahit, bertanda bahwa pakaian itu sudah fase keberapa lengket di tubuhnya yang mungil.

“Mau ngomong apa, bu?”jawab Budi seraya menghampiri ibunya yang terbaring di kasur mungil yang terletak di atas tumpukan kardus di sudut ruangan yang di susun rapi oleh Budi.

“Tadi kamu shalat ashar nggak?” Tanya ibu Budi
“Shalat, bu!” jawab Budi. “Cuma udah dekat maghrib” jelasnya lagi.
“Nak…” ucap ibu tua itu sambil menggenggam tangan Budi yang duduk di sisinya.
“Maafkan emak, yah!?. Bukannya emak membahagiakanmu, tapi emak malah menyusahkanmu dengan harus bekerja...”
“Mak, tolong jangan ngomong cak itu lagi. Aku malah senang dengan keadaanku cak ini, karena membuatku harus labih dewasa dalam menjalani hidup yang penuh dengan rintangan ini” potong Budi.

“Dulu, ketika Bakmu masih hidup, kami bercita-cita ingin menyekolahkanmu, tapi nggak lama setelah itu ayahmu meninggal di tembak polisi ketika berontak dari tuduhan pencurian di daerah prumnas!”cerita ibu itu dengan mengalirkan mutiara-mutiara rindunya pada kekasihnya.

“Mak, entar kalo emak sudah sembuh, aku akan ngumpul uang untuk sekolah. Entar emak akan liat aku memakai pakaian seragam, ntar aku bisa baca Koran, dan aku nanti nggak kalah bedanya dengan anak pejabat. Iya kan mak?. makanya mak rajin-rajin makan obat, biar emak bisa ngeliat aku mencapai cita-cita itu” hibur Budi pada ibunya sambil memeluk tubuh mungil yang terbaring layu itu.

***

Diam tercipta saat itu, keduanya terhanyut pada khayalan-khayalan kecil yang mengiring mereka pada kehidupan seperti itu, sedangkan air mata tidak lelah yang dari tadi mengalir di kedua pipi mereka, mereka bersatu pada jiwa namun berpisah alam pikiran.

***

Siang itu mendung menghiasi bumi, sunyi, sepi yang tersisa di saat segelintir pelayat dan warga kampung pulang dari pemakaman kerumah mereka masing-masing, hanya Budi yang tersisa di sana. Budi yang sedari tadi duduk diam di sisi kubur itu sambil memeluk batu nisan, pikiran dan jiwanya berbeda alam.

Di satu sisi budi sedih benar dengan ujian kali ini. “Entah apa lagi yang akan datang setelah takdir yang mengharuskan ibu pergi dari sisiku?!” ucapnya dalam hati. Namun di sisi lain Budi memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini. “Apa aku hanya diam di sini menjaga kubur ini hingga ajal menjemputku juga! Tidak, aku harus pergi dari sini, aku harus mewujudkan cita-cita emak dan bak, aku harus meninggalkan kenangan pahit yang selama ini menyiksaku”.

Perlahan Budi beranjak dari tempat itu, air mata terus menetes di pipinya namun air mata lebih deras lagi mengalir didadanya yang tak nampak. Terlintas di benaknya impian-impian ibu dan ayahnya, agar budi bisa duduk di bangku sekolah.

Dengan uang hasil pencariannya sehari-hari ditambah sumbangan warga kampung yang turut sedih dengan keadaannya yang lugu, dan beberapa helai baju yang entah kapan di beli ibunya dulu, serta ditambah tekad yang bulat, Budi kecil melangkahkan kakinya pagi itu menuju ibu kota, mencoba tuk melupakan kenangan-kenangan yang ia lewati di kota ini dari sindiran bahwa itu tidak cocok untuk mereka karena mengganggu pemandangan meskipun ada pula warga yang mau mengangkatnya sebagai anak, namun tekad Budi sudah sebulat matahari.

”Aku harus merantau” ungkapnya dalam hati sambil mengandeng tas kecil yang ia dapat ketika pulang dari ngamen menuju loket mobil yang tak asing lagi baginya, sebagai seorang pengamen jalanan.

“Jam berapa berangkatnya, bang?”Tanya budi pada sopir IMI jurusan palembang-jakarta itu.
“Sekitar jam sembilan malam nanti” jelas sopir itu.

***

Malam itu hujan deras menghiasi Jakarta. Budi yang sudah tiga hari nggak makan setelah kepergiannya seminggu yang lalu karena seluruh uang dan pakaian yang di bawanya dulu hilang tak tersisa di ambil pencuri, ketika budi tidur di trotoar pasar senin. Hanya sepan mambo, baju kaos dan sendal jepit yang hingga kini masih menemaninya.

Budi yang mengigil duduk di bawah atap toko emas yang terdapat di jalan panjaitan itu, bibirnya gemetar karna menahan sakit di perutnya. Sudah tak terhitung lagi untuk keberapa kalinya cacing yang ada di perut buncit itu menarik dan menggigiti usus-usus di sekitarnya, memaksa budi kecil untuk minta jatah.

Mata si perantau kecil yang dari tadi kosong kini tertuju pada Rumah Makan yang terdapat di ujung jalan yang masih terbuka, entah apa yang terpikir oleh budi tak kala pandangannya tertuju ke sana. Tubuh kurus tapi berotot itu langsung berjalan melewati atap demi atap menuju ke arah Rumah Makan dengan harapan yang menggebu, namun langkah si budi kecil terhenti didepan rumah makan tersebut.

“Aku harus bagimana?” pikirnya dalam hati.
“Apa aku harus mengemis hingga mereka kasihan. Tidak! aku bukan seorang pengemis” kilahnya.

Setelah beberapa detik berlalu budi yang dari tadi diam mulai beranjak menghampiri si pemilik Rumah Makan yang dari tadi diawasi oleh sepasang matanya.

“Assalamulaikum” sapa Budi membuka obrolan.
“Waalaikum salam” jawab pak Samsul, pemilik rumah makan itu.
“Ada yang bisa saya bantu, dek?” tanyanya dengan sopan.
“Om, sekarang aku lapar sekali, tolong beri aku makan. Nanti kalau aku sudah kenyang, terserah om mau perintah aku, apa aku harus nyuci piring, nyapu, atau ngepel. Tapi yang jelas, sekarang tolong beri aku makan!” mohon Budi pada pemilik rumah makan itu.
“Nak..nak! memang seluruh orang kayak kamu itu, seperti ini!”
“Om, jangan teruskan!” potong Budi, memang aku anak jalanan, tapi aku tidak seperti mereka yang om kira, aku menjadi anak jalanan ini karena terpaksa, om!”
“Oke! tapi kamu bisa jaga janji kan?!” tanyanya balik.
“Iya”jawab budi mantap.
“Uja..ng tolong kasih dia makan, setelah itu suruh dia nyapu dan ngepel tempat ini” perintah pak samsul pada pegawainya.
“baik, pak” jawab Ujang, pegawainya.

***

Hari demi hari di lewati si budi kecil sebagai pembantu di Rumah Makan, dari pagi hingga malam si kecil bekerja tanpa kenal lelah dan jika malam tiba budi menunggu pagi datang dengan bernyanyi nyanyian jiwa di teras Rumah Makan.

***

“Budi, kamu di panggil oleh Majikan!” perintah Ujang pada Budi yang lagi mencuci piring.
“Ada apa?” tanya budi balik.
“Mana aku tahu, tanya aja sendiri!” jelas Ujang sambil beranjak dari tempat itu.
“Ada apa Om?” tanya Budi yang menghampirinya di depan meja kasir di samping pintu keluar itu.
“Kamu lagi ngapain, Bud?” tanya pak Samsul.
“Lagi nyuci piring, om!” jelas Budi.
“Sekarang kamu tunggu Om di meja yang dipojok sana, yah!” perintahnya sambil menunjuk pada meja yang dimaksud.
“Iya, om!!” jawab Budi.

Tak tahu apa yang tercipta di alam pikiran Budi, di pecat adalah kebimbangan yang terbesar yang menjadi alasan si pemilik Rumah Makan itu memanggilnya. Padahal semenjak Budi bekerja di sana tak ada kesalahan yang menjadi alasan untuk mengeluarkannya, dengan pegawai Budi akrab, dengan pekerjaan dia telaten, apalagi dengan majikan yang nota benenya pemilik Rumah Makan, itulah orang yang paling di seganinya selama ini. Lantas, apa yang menyebabkan dia di panggil saat ini secara tiba-tiba.

“Nak!” om Samsul membuka obrolan seraya duduk di kursi yang ada di hadapannya.
“Ada yang ingin Bapak omongkan denganmu!!”
“Mau ngomong apa, om?” tanya Budi balik.
“Kayaknya kamu terlalu kecil Bud, untuk bekerja sebagai pencuci piring”
“Maksud, om?!” tanya Budi heran.
“Begini Bud, sebaiknya kamu sekolah dulu, ntar kalau kamu udah besar baru cari pekerjaan”
“Om lihat sendiri kan keadaanku sekarang, untuk makan saja aku sulit apalagi mau sekolah, lagian aku sudah biasa kok bekerja seperti ini”
“Budi ada niat mau sekolah nggak?”
“kalau niat sih ada, om. Cuma kayaknya aku harus menepisnya karna aku harus bekerja untuk mengganjal perut biar aku bisa hidup lebih lama” jelas Budi dengan menafikkan elegi kedua orang tuanya padanya.
“Sekarang kamu beres-beres, kemudian kita urus segala persyaratan sekolah, ok!”
“Maksud, om?” tanya Budi heran.
“Mulai sekarang kamu sekolah yah nak, masalah biaya biar om yang nanggung, kamu jangan khawatir. Yang jelas kamu pikirkan saja belajar disana nanti” jelas pak Samsul yang sudah sepuluh tahun ini belum memiliki anak seorangpun.
“Benar, om?” tanya Budi tak percaya.
“Iya” jelasnya dengan meyakinkan.

Kali ini alam pikiran Budi di hinggapi oleh berjuta rasa, beribu kisah, dan tumpukan angan-angan yang menjulang tinggi. Tanpa meminta izin Si Kecil langsung memeluk tubuh gendut yang berada di hadapannya sedari tadi.
“Makasih, om!” ungkap Budi pada pak Samsul.
“Jangan panggil aku om, panggil saja Bapak. ok?!”
“Iya, pak!”

By. Bha - Ba El Shiddiq

0 Comments:

Post a Comment

<< Home