5s [katananjiwa]

Elegi Kinanah (Senandung Musim) I

Matahari mulai bersinar menampakan wajah dari kelamnya malam yang pekat, burung- burung mulai beryanyi riang menyambut hadirnya sang surya. Di sebuah surau tampak seorang pemuda duduk bersila setelah mentadaburi ayat Al Quran yang ada di hadapannya. Pagi itu raut mukanya penuh dengan segudang tanda tanya yang setiap hari selalu memenuhi benaknya. ”Ya Allah … tinggal beberapa bulan lagi aku ujian semester ahkir madrasah Aliah, dan aku ingin sekali melanjutkan pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi. Namun…apakah mungkin dengan keadaanku, keluargaku yang serba pas-pasan. Ayahku sudah tua, ibu sering sakit-sakitan dan keluargaku dapat hidup hanya dari sepetak sawah yang ada di belakang gubukku. tapi…aku tidak boleh putus asa karena semua mahluk yang ada di dunia ini sudah ada yang mengaturnya termasuk aku”. Terlihat jelas dari raut mukanya pemuda yang berumur kira-kira delapan belas tahun itu sedang berfikir untuk masa depannya. Sesekali terlihat kesedihan dari raut mukannya dan sesaat kemudian ia tersenyum bangga seakan apa yang selama ini ia impikan telah tercapai.
“Ceng… Aceng… sudah siang...., bukankah hari ini kau ada ulangan. Cepat mandi sana, nanti terlambat !”
Terdengar sayup-sayup suara seorang ibu setengah baya memanggil anaknya yang sejak sholat subuh tadi masih berada di surau.
“I..ia bu” terlihat Aceng terperanjat dari lamunannya. Lalu beberapa saat kemudian ia pun sudah terlihat keluar dari pintu surau. Dan berjalan menyusuri batu-batu yang tertata rapi penghubung surau dengan rumahnya.

“Ceng… nanti kalau kau berangkat sekolah tolong bawa rantang ini kesawah untuk sarapan bapak dan pamanmu” kembali terdengar suara Bu Salimah, Ibu Aceng yang terlihat sibuk di dapur.
“Ia Bu“ jawab Aceng singkat sambil berlalu kekamar untuk berpakaian.
“Ceng, sarapan dulu!”
“ Sebentar bu.. “ jawab Aceng yang terlihat berjalan menghampiri meja makan sederhana yang terletak di dapur rumahnya.
“Makan dengan apa bu?“ tanya Aceng
“Oalah jang, jang… ya dengan apa lagi selain dengan tempe, tahu, ikan asin , daun sampe sama sambel terasi. kita inikan orang miskin mana bisa makan makanan mewah seperti para pejabat itu” jawab sang ibu yang sibuk melayani anak semata wayangnya itu.
“Tapi enak kok bu… Aceng rasa ini sudah cukup apa lagi ibu yang memasaknya “ kata Aceng memuji.
Kemudian Aceng pun mulai terlihat menikmati makanan yang di sodorkan ibunya hingga selesai.
“Bu..., Aceng berangkat dulu, do’akan Aceng ya Bu “ ucap Aceng sembari beranjak dari tempat duduknya lalu kemudian mencium tangan ibunya ta’dzim.
“Enya jang..., ku ibu di do’aken, hati-hati di jalan, jangan lupa makanan untuk ayahmu di bawa“ sahut sang ibu.
Kemudian Aceng pun pergi meninggalkan ibu yang memandaginya dari tepi pintu.

&&&
Sebenarnya keluara Aceng tidak bisa di katakan miskin, keluarganya berada pada tingkat menengah di desa itu. Bahkan sawah merekapun di garapkan pada tiga tetangganya, namun keluarganya selalu menerapkan gaya hidup sederhana tidak seperti kebanyakan keluarga yang lain. Ayahnya yang sudah terlihat ringkih tetapi tetap saja sering terlihat pergi bekerja ke sawah walau hanya untuk sekedar melihat-lihat sawahnya dan orang-orang yang bekerja padanya.

&&&

Mentari mulai merayap dari balik bukit, para petani terlihat berlalu lalang membawa cangkul dan menuntun kerbau-kerbau mereka ke sawah. Terlihat di sebuah petakan sawah seorang lelaki setengah baya sedang mengayun cangkulnya di tengah tiga orang yang terlihat lebih muda darinya. Tubuh yang mulai ringkih namun tetap terlihat bertenaga mengayun cangkulnya tampa jemu.
“Pak..., Mang... sarapan dulu“ teriak Aceng dari sebuah saung yang tidak terlalu jauh dari tempat ayahnya bekerja
“Enya .., jang sakedap... “ Ucap lelaki setengah baya itu yang tak lain adalah ayah Aceng sembari berlalu kesebuah parit kecil dimana air yang sangat jernih mengalir, untuk mencuci tangannya yang di penuhi lumpur.
“Makan dulu pak, ibu masak tempe kesukaan bapak” kembali suara Aceng terdengar sambil terlihat menyiapkan makanan untuk sang ayah.
“Ya sudah, kamu pergi saja ke sekolah nanti terlambat” sahut pak Rahmat ayah Aceng.
“Iya, Ceng biar kamu jadi Direktur, agar nggak kaya pamanmu ini” timpal mang Suarno tetangga rumahnya sembari mengikuti pak Rahmat ketepian sawah diikuti kedua temannya.
“Kalau begitu Aceng pamit dulu Pak!“ kata Aceng sambil menyalami sang ayah dan berlalu meninggalkan mereka di tengah sawah yang terbentang di lereng Karenceng.

Aliran air jenih memenuhi parit kecil yang meliuk-liuk seirama dengan jalan setapak yang ada di sebelahnyanya. Kembali Aceng melangkahkan kakinya menuju sekolah yang berjarak dua kilo meter dari rumahnya.
“Ceng... Tunggu Ceng!“ teriak seseorang dari kejauhan yang terlihat mendekati Aceng.
“Ooh , kamu An. Gimana persiapan ujiannya?” tanya Aceng
“Beres Ceng, semalam aku belajar Full sampai nggak tidur “ jawab Andi.
“Eh... Ceng, kemarin aku dapet surat dari pamanku di Bandung katanya Bulan Mei nanti ada tes ke Al-Azhar beasiswa dari Depag, Ceng. Kamu ikut test ya?! aku yakin kamu bakalan lulus. Lagian kalau nggak lulus pamanku bisa bantu kok“ kata Andi panjang lebar.
“Aduh... nggak tahu An, mana bisa orang seperti aku Pergi ke sana, keluargaku nggak mungkin sanggup membiayaiku di sana.” jawab Aceng
“Ceng... Pokoknya kamu ikut test dulu dech, kata pamanku kalau nanti lulus test di sana kita udah nggak mikir lagi masalah biaya, untuk berangkat ke sana semuanya di biayari pemerintah, terus udah nyampe disana kita langsung mendapat beasiswa dari Al-azhar“ kembali Andi menerangkan.
“Udah lah An nggak usah kita pikirkan dulu masalah itu, lagian sekolah kita juga belum selesai kan?! Mendingan kita buruan ke sekolah nanti terlambat“ kata Aceng sambil terlihat mempercepat langkahnya.
“Aduh sorry ya Ceng, sepedaku nggak ada boncengannya. aku duluan yah?!” terlihat Andi mengayuh sepedanya dengan segera.
“Nggak apa-apa, hati-hati An!” sahut Aceng.

&&&

Teng...teng...teng...!
Lonceng berbunyi tanda istirahat tiba, para siswa-siswi Aliah Nurul Ulum terlihat berbondong-bondong keluar dari ruang kelas mereka. Mencari tempat yang sejuk di bawah pepohonan yang tumbuh di sekeliling sekolah. Sebagian mereka pergi ke sebuah kantin yang bersebrangan dengan sekolah mereka, sebagian yang lain duduk-duduk sambil ngobrol di bawah pohon beringin yang sangat rindang untuk melepas lelah setelah dua jam lebih bertempur dengan pelajaran.
Di sebuah bangku yang terpisah dari bangku-bangku yang lain, tampak Aceng sedang melamun “Al-Azhar... Universitas tertua di dunia. Sungguh... aku sangat bahagia seandainya aku dapat melanjutkan cicta-citaku di sana. Tapi...apakah mungkin aku dapat pergi ke sana dengan keadaan keluarga yang sangat pas-pasan? Aku di sana mau hidup dengan apa, orang tuaku tidak akan mungkin mampu membiayaiku walaupun hanya untuk sekedar makan”.
Plak...! “Hei... Ceng kamu lagi mikirin apa? serius amat“ sapa Andi yang sengaja mengejutkannya
“Astagfirulloh, kamu An ngejutin orang aja, untung aku nggak punya penyakit jantung“ kata Aceng yang terlihat kaget sambil mengelus dada.
“Gimana Ceng, udah kamu pikirkan? sudahlah Ceng yang penting sekarang kamu yakin, pasti kamu bisa kesana. Masalah di sana nanti gampang, pamanku bilang di sana mudah cari kerjaan dan di sana tidak sedikit mahasiswa yang kuliah sambil bekerja, jadi kalau masalahnya cuma takut nggak bisa makan, bukan suatu alasan, yang penting kita nyampe dulu di sana“ kembali Andi berkoar bak seorang presentator yang sedang menerangkan hasil karyanya.
“Iya deh An, ingsyaAllah kalau nanti lulus aku akan coba ikut test“ jawab andi memberikan keputusan yang setidaknya membuat puas hati sahabatnya.

Teng..teng... ! kembali terdengar suara bel berbunyi
“Ayo An, masuk! sekarang pelajaran Fisika nanti Pak Budi marah-marah lagi!“ ajak Aceng
“Aduh ... Ceng, aku lagi males ikut pelajaran pak Budi, entar kalo nanyain aku, bilang aja aku pergi kerumah sakit menjenguk paman“ sahut Andi berbohong sembari berlari ke belakang sekolah.
“Dasar anak bandel, Fisika merah terus nggak kapok-kapok dia“ bisik hati Aceng sambil berlalu pergi memasuki ruang kelasnya.

&&&

Semilir angin pagi membelai dedaunan, menembus celah-celah dinding rumah yang terletak dilereng karenceng, burung berkicau riang bernyanyi seolah tak pernah ada penderitaan yang menimpa mereka. Terlihat Aceng membuka-buka buku yang ada di hadapannya. Pikirannya melayang jauh, ia selalu membayangkan keindahan belajar di Al-Azhar yang berada di negara Mesir, negeri para Nabi yang selalu jadi impiannya untuk mengapai cita-cita.
“Ceng makan dulu, nanti terlambat“ ajak sang ibu yang sudah bercucuran keringat memasak sejak subuh tadi.
“Iya Ceng, makan dulu nanti sekolahnya terlambat“ pak Rahmat ayah Aceng menimpali
“Iya Pak...” jawab Aceng sambil berlalu meninggalkan meja belajarnya.
“Ceng... tidak biasanya kamu makan sedikit, kamu sakit ya?“ Tanya sang ibu penasaran
“Ngg..nggak bu ! “ jawab Aceng singkat
“Ceng, kalau kamu ada masalah ngomong sama bapak dan ibumu jangan di pikirkan sendiri nanti malah sakit “ kembali suara bapaknya menimpali
“Aya naon jang, nyarita atuh ka emak sareng kabapak ari aya masalh teh” suara ibu Salimah khawatir
“Begini pak “ suara Aceng terputus sejenak
“Pak, Bu ... sebelumnya Aceng minta maaf kalo nantinya kata-kata Aceng membuat bapak dan ibu kurang senang” kembali suara Aceng terdengar lirih
“Pak, Bu... Kalo Boleh nanti bulan Mei Aceng mau ikut Test masuk Universitas Al-Azhar”
kata Aceng setengah ragu.
“Bagus..., kalau kamu punya cita-cita menuntut ilmu di sana “ jawab pak Paiman setuju
“Tapi jang... mesir itu kan jauh, nanti siapa yang akan mengurus kamu di sana?“ kembali kekhawatiran bu Salimah terdengar
“Bu..., Ibu nggak usah khawatir, Aceng kan udah besar insya Allah Aceng bisa menjaga diri kok “ jawab Aceng
“Ya sudah kalau itu memang keinginanmu bapak sama ibu hanya bisa berdo’a, yang penting sekarang kamu rajin-rajin belajar agar apa-apa yang kau cita-citakan tercapai“ ucap Pak rahmat tanda setuju.
Terlihat jelas kegembiraan di wajah Aceng karena apa yang menjadi keinginannya ternyata di setujui kedua orang tuanya, walaupun sebenarnya ia sendiri masih belum yakin dapat melanjutkan cita-citanya ke negeri para Nabi itu.

&&&

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan hingga akhirnya sampailah pada waktu pengumuman Kelulusan test Al-Azhar .Terlihat dua orang pemuda baru saja turun dari angkot yang membawa mereka dari Bandung. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak ditepian sawah yang berbelok-belok.
“ Ceng ! apa aku bilang dulu, kau pasti lulus test “ tiba-tiba suara Andi terdengar keras
“ Alhamdulillah An, ini berkat doa kamu juga “ kata Aceng merendah
“ Eh, Ceng kamu nggak usah terlalu merendah nanti malah di injak-injak orang lho “ timpal Andi berguarau
“ ah, kamu An ada-ada aja “ sahut Aceng kembali
Kedua sahabat karib itu bercanda di sepanjang jalan setapak, menyusuri hamparan sawah yang mulai menguning menambah keindah alam di desa itu

&&&

Terik mentari tiba-tiba meredup, langit yang tadinya cerah tiba-tiba tertutup awan yang kelam, suara petir terdengar menggelegar, rintik hujanpun mulai turun membasahi hamparan alam yang sangat indah sore itu.Di sebuah pendopo rumah yang sangat sederhana tampak Aceng sedang duduk termenung sembari menatap hamparan sawah di hadapanya.
“ jang..., kamu harus sabar , mungkin keberangkatannya di undur lagi “ terdengar suara bu salimah sambil mengelus pundak Aceng
“ iya bu, tapi sampai kapan , sekarang kan sudah akhir Agustus bu, janji mereka awal agustust saya sudah berangkat ke sana” jawab Aceng sedih.Terlihat di kejauhan seseorang menaiki sepeda memakai mantel hujan datang ke arah rumah mereka.
“ Asalamu’alaikum “ ucap orang tersebut yang tak lain adalah tukang post
“ Wa’alaikum salam “ Jawab Aceng dan ibunya serempak
“ maaf dek, Benar ini rumah Aceng maulana ? ‘ tanya tukang post
“benar Pak , saya sendiri “ jawab Aceng segera
“ Ini dek ada surat dari bandung, saya permisi dulu” kata tukang post pada Aceng sembari kembali menaiki sepedanya.
“ terima kasih pak “ balas Aceng dengan segera menerima surat yang di berikan tukang post itu dan membukanya.

Bandung, 25 agustust 2010
Untuk Sahabatku Aceng
Di Babakan

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Ceng, sebelumnya aku minta maaf,atas kelancanganku ini. Ceng, Sebenarnya surat panggilan keberangkatanmu sudah di kirim pada tanggal 3 agustus kemarin, tapi sengaja surat itu tidak aku sampaikan sama kamu. Ceng…, aku tidak lulus dalam test kemarin, dan ayah serta ibuku tidak dapat menerima kegagalanku itu, mereka ingin aku tetap pergi ke kairo walau bagai manapun caranya, Jadi atas desakan mereka pamanku mengubah namamu menjadi namaku. sebenarnya aku tidak mau menerima semua ini tapi aku juga tidak ingin mengecewakan orang tuaku untuk yang kesekian kalinya. Maafkan aku Ceng.....
Wasalam
Sobatmu, Andi Gunawan

Hujan semakin deras menumpah bagai air bah, halilintar menggelegar membuat sore itu semakin mencekam seakan ikut marah dengan apa yang di alami oleh Aceng. Tubuh Aceng tiba-tiba bergetar hebat setelah membaca surat yang di kirimkan sahabatnya itu, “An kau adalah sahabatku yang paling dekat, tapi mengapa sampai hati kau lakukan ini An...!!!” teriak batin Aceng sembari meremas surat yang berada di gengamannya dengan wajah yang geram.....


Bersambung..........
By. Oom Amin El Hasby

0 Comments:

Post a Comment

<< Home