5s [katananjiwa]

Menilik dan Menghormati Sejarah (Holistik) I

Rasanya tidak salah kalau bangsa Arab mengabadikan 'Nuniatu Al Randi ', sebuah syair yang ditulis oleh penyair kenamaan di tanah Andalus ratusan tahun yang silam. Sebagai syair perjuangan, dan juga upaya untuk menghargai nilai sejarah. Yang mungkin selalu saja kita remehkan, sehingga kita tidak masuk lobang gelap yang sama untuk kedua kalinya. Arrandi dengan gelombang semangat yang menderu, menyeru raja Arab Islam di Sepanyol agar tetap teguh menyusun barisan dalam menghadapi rongrongan rongrongan raja Spanyol. Seruan itu ditandai dengan 'menilik sejarah', mengapa kita kalah? Karena menurut Arrandi hal tersebut disebabkan oleh lunturnya semangat juang raja Arab, disertai penyerahan benteng-benteng penting kepada raja Spanyol. Disaat kelemahan-kelemahan tiba, maka dengan mudah dihancurkan musuh.

Banyak korban berjatuhan, dan juga terusir dari tempat tinggal mereka, sehingga Arrandi dalam ungkapan sastranya mengatakan, bahwa karena begitu dahsyatnya kesedihan, sampai sampai mimbar menangis, menyaksikan kejadian yang berlalu didepan mata. Masjid-masjid kosong, tidak terdengar lagi suara adzan, juga tidak ada orang bersolat, semuanya lindap dan diam, termenung bisu, menahan isak tangis dan hati yang berkelu..

'Menghormati dan menilik sejarah' merupakan suatu hal yang tidak niscaya pentingnya bagi kita, karena dengan sejarah kita tidak akan terlalu gegabah dalam melangkah, dan mengambil keputusan. Kenapa Kaum Tsamud hancur? Kenapa kerajaan Persi harus punah? Kenapa bangsa Romawi harus tunduk di bawah kekuasan bangsa Turki? Kenapa orang orang Islam mengalami kemunduran dalam beberapa penggal kurun? Memang Semuanya akan hancur dan akan mengalami masa-masa kehancuran, namun setidaknya kita dapat mempelajari berbagai macam pengalaman, bukan untuk sekadar beromantisme, tapi untuk ingat dan belajar pada sejarah. Dan betul apa yang dikatakan Randi dalam syairnya tadi, bahwa 'tidak ada yang kekal di muka bumi ini, semuanya pun akan mengalami masa pasang dan surut', ibarat air laut yang selalu menelan dan menghantam tepi. Siapa yang mendakwakan kekekalan dan keutuhan? Tembok Berlin di Jerman pun harus dihancurkan. Sejarah komunis pun harus berhenti di Eropa bagian Timur, dan semua dunia turut menyaksikan hal tersebut. Demikianlah rotasi-rotasi hidup dan sejarah yang selalu harus mendapatkan porsi perhatian dari kita, yang mana sebenarnya bukan merupakan pekerjaan gampang, karena zaman pelaku sejarah sudah berlalu, kita hanya dapat berasumsi dan meneliti dengan berbagai macam bukti dan membaca buku-buku.
Kalau seandainya hal tersebut sudah lebih dahulu ditulis oleh penulis di zaman tersebut, tentunya pun persi sejarah banyak yang berbeda, ada yang mengatakan A dan ada juga yang mengatakan B, kesemuanya tentu saja mendakwakan kebenaran, ada baiknya pula kalau mengutip ungkapan Cak Nur, kala itu beliau berkunjung ke Kairo. CN mengatakan “Sejarah itu mempunyai Vareabel yang sangat panjang, berbeda dengan ilmu pasti, dan lebih sulit jika dibandingkan dengan yang kedua”. Dalam banyak masalah selalu saja terlihat perbedaan dan kata yang tidak sepakat. Syair Jahili dalam fersi Toha Husain bebeda dengan fersi ahli sastra dan sejarahwan Arab lainnya. Kholfullah begitu getol mengkritisi pwesi sejarah yang kelihatannya sudah baku menurut sejarahwan lainnya. Sampai pada waktu baru baru ini pun muncul sebuah film tentang petualangan Raja Iskandar Al Maqduni, dikutip dan diturunkan oleh koran mingguan Al- Qohirah akhir bulan Januari 05. Dalam film itu digambarkan bahwa Raja Iskandar adalah seorang yang diktator dan selalu memesumi wanita, film ini persi sutradara Barat dan tentunya berbeda sekali dengan persi Islam, yang mana raja ini pun masuk dalam salah satu setting Al Quran dalam surat AL-Kahfi, sangat bertentangan sekali dengan film tadi.
Begitu enaknya manusia mereka-reka dan mengambil kesimpulan dalam banyak cerita dan sejarah, terserah persi mana yang akan kita anut, asalkan tidak mengada-ngada saja. Tentunya dengan 'menilik dan menghormati nilai sejarah' merupakan sikap yang elegan, dengan artian tidak hanya mengandalkan metode saja akan tetapi juga melihat berbagai macam manuskrip serta bukti sejarah, untuk kemudian menyimpulkan, sehingga akan terlihat 'sebuah keadilan' tidak seperti diakal-akalin, apalagi kalau rentan sejarah itu masih belum terlalu jauh, dan pelakunya masih hidup, sungguh itu adalah tugas baginya untuk meluruskan sejarah yang salah dan bengkok. Kita pun akan tahu mana yang berjasa dan mana yang tidak, mana yang perlu dipenjarakan dan mana yang tidak. Mana yang harus ditendang dan mana pula yang perlu dihargai.


Walaupun mengetahui kepastian sejarah adalah sangat sulit, tetapi bukanlah merupakan sebuah dinding penghalang untuk meneliti serta mencari untuk mendekati kebenaran. Dan tidak pula lari dari sejarah, yang malahan akhirnya orang barat yang mengungkap sejarah, antropologi, aerkologi timur, dari bahasa sampai lingkup kebudayaan lainnya. Contohnya saja penemuan-penemuan bahasa Semitik, sampai juga kepada bahasa Heryoglip. Memang ironis, tapi kita pun harus menyadari kelemahan untuk kemudian bangkit, menilik dan menghormati sejarah, sehingga ketika timbul penemuan penemuan dan metodologi baru, kita tidak lagi mengatakan 'itu sudah ditulis dan dibahas oleh buku Khosois punya Ibnu Jinni, atau buku-buku Ibnul Atsir'. Mungkin benar adanya, akan tetapi bentuknya masih sederhana dan perlu dikaji dan disempurnakan. Dan merekalah yang banyak mengkaji dan meneliti kebudayaan timur. Kenapa bukan kita? Bukankah kita mempunyai hak waris yang sah?! Akhirnya kemarin bolehlah kelam tapi esok pun tidak niscaya akan bersinar, mungkin tepat apa yang diungkapkan oleh seorang Pramoedya Ananta Toer 'Masih ada hari esok, tapi bukan pasar malam'.
Oleh: At Tahawie

0 Comments:

Post a Comment

<< Home